Hari Jumat. Tanggal 25 Maret.
Siswa laki-laki berlompatan sesuai urut absen. Sedangkan yang perempuan menonton, menunggu giliran setelahnya. Hari ini ujian praktek lompat jauh.
Matahari begitu terik, padahal masih cukup pagi. Seluruh badan terasa lengket karena keringat. Teman-teman sekelas ada yang sejak tadi sudah telanjang kaki, aku akhirnya memutuskan untuk ikut.
Betapa suasana pelajaran olahraga selalu berasa seperti ini.
"Gimana menurut dokter, Nak. Apa sudah bisa olahraga berat?" tanya Pak Bangun, guru penjas.
"Udah kok, Pak. Saya udah pulih semua." jawabku yakin.
"Yasudah. Pokoknya lagi-lagi ingat, lari secepat mungkin, terus langsung lompat sekuat tenaga sebelum melewati garis, baru mendarat dengan dua kaki. Mengerti?"
Aku sudah banyak dengar teori, sekarang waktunya aku praktekkan sendiri. "Mengerti, Pak!"
Priit! Peluit ditiup, aku pun langsung menolak kaki kiri ke tanah. Tiap langkah terasa berat, namun aku terus berusaha lari. Tidak, pandangan tidak tampak melambat. Sama saja. Yang kutahu waktu itu asisten Pak Bangun siap di samping kotak pasir, stand by memastikan tempat aku nanti jatuh.
Semakin dekat dengan garis lompatan. Oh tidak! Terlambat bagiku menyadari ada satu kerikil di dekatnya. Tak bersepatu pula. Aku pun berusaha menghindar dengan lompat lebih awal, tapi sungguh, tak siap kuda-kuda.
Hiyaa! Bruk! Bukannya tepat dua kaki, aku justru mendarat tangan kanan dahulu.
"Aduuhh, sakit! Ini, ini, tangan kanan terkilir, tulangnya, ototnya, apalah. Duhhh,"
Untung saja Pak Bangun sigap. Beliau langsung mendekat dan mendekap lenganku. Sedikit mengamati kemudian memutuskan. "Siap ya. Ini bakal terasa sakit,"
Hah? Apa? Gaaah! Lenganku beliau tarik begitu saja dengan sekuat tenaga. Sungguh menakutkan melihat otot badannya berkontraksi.
...
"Hahaha, ceroboh sih. Untung nanti ujianmu berbasis komputer ya." celoteh si asisten, aku mencibir.
"Udah, sekarang kamu pulang aja dulu. Jangan bawa benda berat-berat dulu. Tas sekolahmu biar nanti diantar teman-teman."
"Iyadeh, Pak. Makasih.." Hm, kalau begini terus lama-lama aku jadi kidal betulan.
***
Setelah sepanjang jalan dituntun, sepeda kutaruh di garasi kos. Di dekat sana ibu kos sedang menjemur baju.
"Ealah, Nak, Nak. Sepeda kok bukannya dinaikin malah digiring. Emangnya peliharaan?” komennya.
Aku tidak menjawab, hanya dengan lemas menunjukkan tangan kanan yang ditumpu, dikalungkan ke leher. Seraya dalam hati berpikir, nggak pernah ketemu kuda nih orang.
"Oalah, Ibuk kira udah sembuh to. Lha kok ternyata masih kambuh lagi. Udah sana cepat istirahat gih."
Lagi-lagi aku melangkah lemas, menaiki tangga, mengambil kunci, lalu membuka pintu kamar, dan menyalakan televisi. Rencananya sih ingin santai dulu. Tapi saat duduk di kursi, menyender, geser, geser, bruk jatuh ke kasur. Hoahm.. menguap, berguling, perlahan ambil guling, lalu terlelap terlahap selimut.
...
"Nak! Nak Dika! Ada yang nyarikan nih!" teriak Ibu kos dari bawah. Mengalahkan suara TV yang masih menyala.
Kedua mataku langsung mendelik, kaki refleks menendang selimut, lalu berdiri tegap. Hap. Sambil mengucek mata, aku mendekat ke jendela. Memang siapa sih yang mencariku. Saat ¾ sadar, baru kelihatan. Di gerbang ada dua orang berseragam olahraga, satunya naik motor, dan satu lagi membawa tas ranselku.
Aku pun langsung melangkah turun dan membukakan gerbang. Bukan sosok yang sempat terpikir waktu itu.
"Hai, Dik," sapanya.
"Oh, hai, Ra. Aku kira siapa,"
"Makanya dong jangan dikira-kira. Aku kan beneran Kira."
Di belakangnya, teman Kira memotong percakapan. "Ra, udah ketemu kan? Kalau gitu aku pulang dulu ya?"
"Oke, Sis. Makasih, hati-hati di jalan, jangan sampai ketikung, di perempatan depan! Hehe," aku dan Kira pun melambaikan tangan seiring motor menjauh.
"Nih, ranselmu. Harusnya sih tadi anak-anak laki yang nganterin. Tapi pada semangat main bola tuh, nggak bisa diganggu."
"Oh, iya, nggak apa-apa. Makasih, Ra udah mau nganterin."
"Hehe, sama-sama.."
Hening. Urusanku sih sudah selesai, tapi kok, kelihatannya masih ada yang mengganjal deh.
"Habis ini kamu ngapain, Ra?" tanyaku heran.
"Mau nunggu dijemput.. di, sekolah," Kira langsung menepuk dahi. "Iya ya kenapa nggak minta diantar balik ke sana sama Siska. Hadeh."
"Yaudah deh, Dik. Aku balik dulu, kali aja udah dateng jemputannya," lanjutnya.
"Ayo deh, aku temenin." Aku pun melempar ransel sembarangan ke dalam pekarangan.
"Okedeh!"
Lima puluh meter bukanlah jarak yang jauh. Biasanya aku berangkat juga tidak sampai tiga menit. Tapi.. ternyata cukup buat kami tambah saling kenal. Bercakap-cakap satu dua hal.
"Sekali lagi makasih ya, Ra."
..aku sendiri tidak yakin konteks apa yang sedang kubahas dalam kalimat itu. Apakah hanya karena mengantarkan tas, atau, Karena hal-hal lain juga?
"Ah, nggak masalah. Eh kamu udah pernah aku ceritain belum?"
Aku memasang wajah cerita apa? Diikuti dengan geleng-geleng ringan.
"Aku tuh.. dulu pernah kecelakaan. Waktu pulang sekolah di jemput kakakku naik motor, eh, pas di persimpangan tiba-tiba ada mobil keluar dari garasi, nggak nyalain lampu sen, dan nggak lihat-lihat belakang. Udah deh tabrakan. Motor lepas kendali terus nabrak pagar rumah pinggir jalan."
"Terus gimana, Ra? Kamu cedera?"
"Aku nangis histeris sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Padahal cuma lecet di lutut sama tangan. Kakakku.. betis kanannya sobek entah kena bagian apanya mobil. Besar banget, sampai, kelihatan dagingnya.."
Kira berhenti bicara sebentar, begitu juga langkahnya.
Aku pun ikut diam. Seberapapun penasaran lanjutan cerita, tampak penyesalan dan kesedihan di wajahnya.
"Tapi dia nggak nangis, Dik. Tenang.. bahkan berusaha menenangkan aku. Ngingetin kalau nangis aja nggak bakal berbuah apa-apa... Sejak itu, aku bertekad untuk jadi tegar. Jadi perempuan yang nggak cengeng."
Aku lega mendengar ceritanya. "Tekadmu udah tercapai, Ra."
"..Makasih, Dik. Eh, itu dia kakakku udah nungguin di depan sekolah. Aku pulang duluan ya!" Kira langsung melangkah cepat menuju kakaknya. Meninggalkanku hanya dengan lambaian kecil.
Aku pun, berputar dan berjalan kembali..
Semua orang di dunia ini, pasti punya keunikan kan. Karakteristik, pilihan, pengalaman. Yang tidak semua orang rasakan. Suatu kesenangan sendiri mendengar langsung kisah-kisah seperti itu.
Apalagi, setelah selama ini. Walau sekelas aku tidak kenal apa-apa tentang dia. Sungguh waktu yang terbuang sia-sia.
...
"Nak, harap menjauh," kata seorang polisi membuyarkan lamunanku.
Kok ada ramai-ramai di sekitar rumah. "Loh, kenapa, Pak? Itu kos-kosan saya, saya mau pulang."
"Ditemukan tas mencurigakan di halaman rumah itu. Dicurigai sebagai bom teroris."
Hah? Bom teroris?? Aku pun merangsek tak peduli. Berhasil masuk gerbang. Dan benar, benda yang dikelilingi Ibu kos dan dua aparat itu, hanya tas yang kutinggalkan tadi.
"Yaelah, Buk. Itu tas Dika! Bukan bom!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.