Mengulang Kembali

7 0 0
                                    

Maaf. Itulah ide pokok dari berparagraf-paragraf kata yang kami bagi di tengah rumah luas nan lengang.

Persahabatan kami mungkin tidak akan sama lagi.

Berhari-hari kemudian. Kami berjalan bersama melalui gedung-gedung kuno di sepanjang jalan utama. Meski kurang canda tawa. Dan wujud canggung hadir menjadi orang keempat. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada notifikasi penerimaan transfer dari bank.

"Guys, ayo makan gudeg bareng! Aku traktir, bayaran untuk puisiku di koran udah turun, hehe," ajakku penuh semangat.

Ryan dan Kira saling pandang. "Gimana, Ra?" tanya sang calon koki.

"Mm, kenapa kita nggak masak bareng aja? Sebenernya, aku tambah ngerasa bersalah kalau terus-terusan buat kalian ninggalin ibu kos sendiri di rumah.."

..🚲..

Ryan mengenakan celemek yang sangat bagus, biasa dia pakai untuk kuliah. Sedangkan Kira pakai yang agak lusuh namun tampak bercak bekas 'perkelahian'nya. Punya ibu kos.

Mereka berdua lincah di hadapan kompor, melawan serangan percik lava minyak goreng, menahan panas air yang mendidih berbuih. Kedengarannya epic. Sedangkan aku, di petualangan sendiri, yang tak begitu seru. Memotong sayuran, di atas bangku panjang di pojok dapur.

"Dika, ini potongannya masih kebesaran, dikecilin lagi dong," pesan Kira.

Ryan selalu ceria, mencoba menularkannya. "Hehe, ayo semangat, Dik!"

Iya iya.. Aku. Mencoba untuk fokus pada pisau di tangan. Tak memedulikan seberapa akrab mereka di sisi sana. Atau jariku bisa teriris. Toh mereka sudah saling kenal lebih lama, aku tidak lebih spesial, tak bisa masuk di tengah celah yang sempit itu.

Aku bukan pisau yang memisahkan. Tak 'cetak tak tak tak'. Cepat dan tajam tak peduli seberapa kuat atau padat ikatan.

"Udah selesai nih motongnya, aku mau ke ruang makan buat nyiapin mejanya," tak menunggu reaksi mereka, aku sudah bangkit dan keluar.

Ryan mendekat untuk mengambil hasil potongan. Lalu bergumam. Yah, kalau ini mah kekecilan. 

...

"Wihh rapi banget, Dik. Mantep," Ryan memuji seraya membawa piring-piring penuh masakan.

Selamat makan.. mengitari meja kecil, mereka duduk bersebelahan sementara aku di sisi seberangnya. Berusaha menikmati makanan yang seharusnya tak diragukan lagi enaknya.

Tapi sungguh pahit rasanya.

***

Di bawah sana, depan gerbang, Ryan melepas kepulangan Kira. Dia sempat menoleh ke atas sebelum menaiki sepeda, dan mengalihkan pandangan. Sungguh sendiri rasanya, di tempat jemuran.

Brak. Pintu terbuka, Ryan mendekatiku seraya membawa dua cangkir kopi. Lalu duduk tak jauh. "Kalau kamu mau begadang sampai masuk angin, aku temenin."

Entah waktu yang tepat atau tidak. Pipiku sedang becek waktu itu. Yang penting, itu tangis kejujuran.

"Masa depan itu, selalu aja menakutkan. Namanya kesenangan dan kenangan itu hanya ada dari masa lalu, padahal seringkali justru, menghantui. Masa kini, jadi waktu yang penuh gelisah dan rasa bersalah.."

"Aku paham, Dik.." dia menyerahkan padaku sebuah serbet.

Tunggu, serbet? 

"Bersih kok, udah kucuci.." kata Ryan menenangkan. Baiklah, terserah. Setelah menyeka air mata, serbet itu kupakai untuk membuang ingus. Sruttt. Heh! Buat dia kaget.

"Dasar Dika," ada jeda. Kemudian menjitak kepalanya sendiri. "Kamu ini masih aja ya nggak ngerti. Hahaha.."

Bisa-bisanya dia tertawa di saat ini. Aku membuka mata dan hampir terbawa emosi untuk menamparnya tapi, wajah sasaran itu.. dia tidak ingin tampak sedih, karena itu akan membuatku tambah sedih. Memaksa berekspresi tenang, dengan air mata menggenang, meski akan dinilai kasar.

"Kalian berdua itu sama-sama kurang jujur, terlalu menyembunyikan, entah karena malu atau masih ngerasa bersalah. Kamu nggak mau berusaha untuk dapat perhatian dia, hanya karena sejuta kali ditolak. Dia, nggak mau menerima tawaran kamu hanya karena ngerasa gengsi.."

"Kamu tahu sendiri gimana dia kelihatan seru pas masak bareng aku. Tapi yang kamu nggak tahu, kesenangan itu lenyap sejak langkah kamu keluar. Dia malu untuk ngaku, bahwa kamu lah sumber bahagianya. Mencoba keras menunjukkan bisa dengan orang lain, padahal, tidak. Sangat dipaksakan.."

Sulit menarik napas di suhu dingin berangin ini. Tapi kulakukan dalam-dalam. Hingga lega, hingga tersaring semua perkataan Ryan barusan.

"Jadi, aku punya kesempatan, Yan?"

"Heem."

Mesem-mesem tak tertahankan. Kopi pun langsung kuteguk. "Wahh, enak Yan. Kopi merek apa nih?"

"Ohiya aku belum bilang. Ini dikirim sama Dwi kemarin. Racikannya sendiri lho! Mantep kan."

"Weww.. bisa dijual nih. Eh gimana kabarnya di rumah..?"

Syukurlah pertemananku dan Ryan lancar kembali. Bahkan kali ini dengan ada sari kedewasaan sebagai bumbu rahasia. Memberi rasa baru yang spesial.

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang