-×=×-
Aku langsung melesat ke stasiun terdekat untuk memesan tiket yang paling cepat berangkat. Peron terasa panas, karena aku begitu was-was. Ada rasa kesal karena terlambatnya kabar dan ketidakpekaanku untuk bertanya.
Penyakit dalam ibu kambuh, biasanya aku—sebagai anak tunggal—yang mengurus beliau. Tapi gimana lagi, tempat nggak memungkinkan, jadilah digantikan Alda.
***
"Alda.. Alda! Dimana kamu?" cariku sesegera memasuki rumah. Sandalnya ada di depan, dia pasti sedang ada disini. Ugh. Langkah kuarahkan ke kamar ibu. "Gimana kabar ibu?"
"Hmm.. sudah baikan kok, Nak.. berkat Alda."
"Sekarang dia ada dimana, Bu?"
Menuruti arahan ibu, aku naik ke lantai dua, ke ruang kamar tamu. Disitu Alda terbaring di kasur tipis, memakai selimut, dan di sebelahnya ada teh tinggal setengah yang sudah dingin. Kutempelkan tangan ke dahinya.
"Alda, badan kamu panas. Udah sini aku antar kamu pulang aja ya.." entah dia menjawab apa, aku tidak dengar, sudah tergesa-gesa.
...
Tangan kanan memegang kendali motor, tangan kiri berjaga memegang tubuhnya di belakang. Sepanjang perjalanan dia bilang dia baik-baik saja, sebetulnya nanti bisa pulang sendiri.. Yang dia sering sebut kos, sebetulnya rumah kedua orangtuanya, dia bilang begitu karena ingin tampak sederhana di antara mahasiswa lain.
Alda.. kamu ini masih sempat saja.
Tante—adik dari ayah Alda—yang menempati rumah itu membantuku membawanya masuk kamar, membaringkan ke atas kasur. Kemudian.. aku perlahan keluar dan menunggu di teras. Tidak ada hal lain dalam benak kecuali dirinya. Dua jam berlalu.. dia melangkah gontai keluar, kelihatan sedikit lebih segar. Tapi ada sesuatu di pikirannya.
"Kamu kok masih disini sih..?" tanya dia.
"Aku, kan, butuh tahu gimana kabarmu.."
"Udah kubilang dari awal, nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Kamu sadar nggak sih tanggung jawab yang kamu tinggalin?" arah pembicaraan beralih dengan cepat, aku kesusahan mengikuti.
"Iya. Iya aku tahu kok. Emang kenapa? Kesehatanmu kan lebih penting.." jawabku menerka apa yang dia mau.
"Lebih penting? Dari ibumu?!"
"Tadi aku tanya kata beliau udah baikan.."
"Hanya dengan gitu aja kamu ninggalin beliau? Jelas lah itu yang seorang ibu bilang biar anaknya nggak khawatir!" Uhuk, dia berseru keras sampai terbatuk. "Gimanapun keadaan sebenarnya."
Aku, lidahku, beku.
"Keadaannya masih parah tau, kamu kira aku berusaha sampai ikut-ikutan sakit gini karena ibumu cuma kambuh biasa? Nggak rasional deh. Emang jauh kamu pergi ke kota sebelah, untuk ngingetin lagi leluhur yang terlupakan. Padahal apa, kamu sendiri juga lupa sama 'pendahulu'mu.."
Entah gimana dia bisa ngomong tanpa rem apalagi isi bensin. Maaf, aku jadi kebawa emosi.
"Dan bicara soal usaha ya, kamu tega ninggalin temen-temenmu yang udah latihan bareng untuk penampilan sore ini. Peranmu itu besar buat mereka, kamu harusnya tahu. Niat dan visi misi kegiatan itu udah nggak bakal terwujud sejak detik kamu membeli tiket datang ke sini."
Hah! Tunggu, gimana? Kok semuanya jadi serba salah!?
"Cerewet. Kamu tahu apa tentang kerjaanku?" Amarahku terpancing telak. "Anak sastra ngapain aja sih selain main kata-kata. Sana lanjutin aja ngomong terus.."
-×=×-
"Itu murni cemooh, Dika.. Aku nggak jawab pake alasan rasional. Sebelum aku sadar dan minta maaf, dia udah berkaca-kaca dan lari masuk. Habis itu tantenya keluar dan nyuruh aku pulang, katanya mending urusi ibuku."
Mas Jaka bercerita dengan penuh penyesalan. Di ruang kedap suara, dikelilingi beberapa instrumen, dia memainkan beberapa blok. Gitar akustik mengeluarkan nada melow. Mengiringi alur cerita yang berakhir..
Sebaik-baiknya manusia, tingkatnya sejajar dengan usaha dia untuk menyatakannya. Sedangkan persepsi tentang kebaikan itu sendiri berbeda. Jika jembatan yang paling penting—yaitu pengertian—roboh, bisa menjadi sama sekali sebaliknya..
Kini tentu mereka sudah saling memaafkan, tidak ada dendam. Tapi bukan berarti sudah melupakan. Mungkin tak akan.
Mas Jaka tak hanya ingin dimaafkan, tapi juga berharap diberi kesempatan untuk memperbaiki, mengulang kembali, berhubung lagi. Sedangkan Kak Alda bukannya menjauh karena membencinya, tapi justru membenci sosok dirinya yang selalu salah besar jika berhadapan dengan Jaka.
Aku melangkah keluar gedung fakultas seni dengan tekad untuk membantu mereka, entah bagaimana caranya. Selain itu, tunggu.. Ada yang mengikuti langkah itu.
"Dika!" tegur seseorang dari belakang seraya menepuk pundak.
"Tyas, bikin kaget aja deh."
Dia tertawa lebar. "Maaf kali, lagian kita udah sering banget 'papasan' di dalam, tapi jauh jadi nggak sempat nyapa. Emang kamu lagi ngapain sih?"
"Mm.. itu, ada. Senior disitu itu tuan rumah kos dan juga temen deketku. Jadi ya, suka diajak kesana."
Oh.. Perjalanan ke parkiran pun tak terasa. Dia semakin banyak bicara karena makin banyak wawasan. Aku tak masalah.
"Besok Minggu main yuk, Dik! Ke taman atau kemana gitu."
"Aku pikir dulu.."
***
"Yan! Jadi jarang nih ketemu, loh, mau kemana?" Baru saja aku melangkah masuk gerbang. Tali sepatu belum dikendurkan sama sekali.
Sedangkan dia sudah pakai baju serba santai. "Biasa, main sama temen-temen. Nyari bahan, masak, gitu deh. Duluan yak!"
Okedeh.. tampaknya akhir pekan aku akan sendiri lagi. Setelah berpikir pendek dalam rangkai langkah kecil menaiki tangga, sebuah keputusan dibuat. Ponsel pun kuambil dari saku, buka aplikasi chat, lalu ketik nama Tyas.
"Ayo besok main, Yas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.