Rancho, lihat monitor itu! Tubuhnya lumpuh karena syok, namun pikirannya tetap bekerja. Dia melihat dan mendengar kita!...
Bicara padanya seperti biasa, beri motivasi, ajak bercanda. Buat dia gembira!
Volume televisi menembus bilah pintu. Karena pendengaranku yang masih bermasalah, dan sedang makan siang—suara kecapannya cukup mengganggu– tontonan kusetel sekeras mungkin.
Hanya itu yang bisa kulakukan agar lupa degan rasa bubur yang hambar.
Ayah mengecas ponsel lamanya. Kemudian memasang gadget dengan koneksi internet ke televisi. Sebelum pulang ke rumah, karena banyak pekerjaan yang telah tertinggal.
Masih Hari Sabtu. pukul 13.00
Tok tok tok, pintu diketuk. Dari jendela kecil tampak wajah tembem mengintip. Aku sempat kaget, butuh lima detik lebih hanya untuk mengenalinya. Itu Bella, tidak tahu diri asal lihat-lihat ke dalam.Yang baru kusadar, saat menulis naskah cerita ini, sekolahku memang sudah waktunya pulang. Saat itu aku mana ingat. Ibuku pun membukakan pintu dan beberapa temanku masuk, semua masih menggunakan seragam pramuka, hanya beberapa berlapis jaket. Aku pun menaruh mangkuk bubur ke meja kecil sebelah ranjang.
"Hai, Dika. Gimana kabarmu?" ujar Bella tanpa tarik napas pun aba-aba.
"Hmm.. Hai juga, ..Del. kaya yang kamu lihat, aku udah, bangun. Berita baik." jawabku patah-patah.
"Del?" refleks Ryan.
Teman-temanku pada berhadap-hadapan. Sedikit kebingungan. "Eh, kenapa.. Mel,?" muka Bella tambah merah padam. Kamu sedikit tertawa melihat teman dekatmu berekspresi seperti itu. Lalu bilang.
"Bella, Dika.."
"Bella Dika? Siapa.. kenapa ada namaku? Memang dia saudaraku?"
Aduhh. Sebagian teman menepuk kening, yang lain tertawa tertahan. Ryan terbahak-bahak, keras sekali. Semuanya pun kompak melotot ke arahnya.
Baru sekali lagi Bella mengenalkan diri dengan sinisnya hingga tertancap di ingatanku. Dia baca bahkan eja dari nama depan sampai terakhir. walau sebetulnya hanya dua kata. Dengan informasi tambahan bahwa dialah yang telah membawaku ke rumah sakit ini, di balik helaan napasnya, dan seraya mengalihkan pandangan.
"Apa yang tadi kamu bilang..? Kalian, yang, bawa aku kemari?" tanyaku kurang percaya, baru tahu.
Bella mendengus kesekian kalinya.
"Iyaa! Kebetulan aku lagi di seberang jalan beli jajan.. Dia sih yang menelpon, aku lagi nggak punya pulsa. Tapi setelah itu di ambulan kita berdua nganter sampai ke rumah sakit."
***
Setelah sekian bincang-bincang. Yang mana sebagian teman laki-laki mengejek seberapa konyolnya aku bisa tertabrak di depan sekolah, sementara sebagian teman perempuan mengingatkan untuk tidak kelewatan. Mereka juga makan dan minum cemilan suguhan orang tuaku. Kemudian berpamitan ada yang mau kembali ke sekolah untuk ekskul, ada yang langsung pulang saja.
Saat semua bangkit, berjalan keluar dari pintu kamar, orang tuaku sedang di luar juga ada urusan mendadak. Pintu yang terbuka mengekspos gantungan baju, yang mana ada almamater disana..
"Terimakasih, Bella, Alissa," ujarku refleks.
Terus melangkah, Bella hanya mengangkat tangannya, membentuk gestur OK.
Tapi kamu, berhenti sebentar, masih menunduk, mungkin melihat sepatumu yang tampak cantik di atas keramik putih. Lalu yang tak kukira, kamu berbalik badan dan menyimpulkan senyum kecil ke arah ku.. Beruntung cardiogram tidak terpasang di badanku. Kalau iya, layarnya pasti menampilkan debar jantung yang tinggi sekali bukitnya, dan dala.m sekali lembahnya. Bahkan cepat sekali frekuensinya.
Wow, hari yang, normal..
Bruk. Pintu pun ditutup.
Sunyi lagi.
...
Sudah cukup sore dan sinar oranye merayap dari ventilasi mungil. Membentuk jembatan cahaya yang jatuh di meja, dekat jam digital.
"Tak banyak yang terjadi di hari ini, sejak, aku memang hampir tak berkutik. Detik terus saja berjalan tanpa beristirahat menungguku. Yang kuharap, ia sekalian terus memperbaiki lukaku. Luar maupun dalam. Selain itu, juga menjawab tanyaku. Tersurat juga tersirat."
Aku masih harus terus mengejar. Dan mencari jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.