26. Versus

107K 14.5K 1.9K
                                    


Yena menggaruk rambutnya sesaat, dengan wajah masam memandang Hanna di sampingnya yang terus bicara menguraikan rumus Fisika dengan tenang. Gadis mungil itu mengerutkan kening, mencoba memahami penjelasan Hanna.

"Duh, Haaannn, nggak ngerti," rutuk Yena sudah putus asa.

Hanna jadi berhenti bicara, menghela nafas. "Ya makanya sono lo minta ajarin anak olimpiade biar cepet paham," katanya membuat Yena langsung mendelik.

"Lo kan juga anak OSN," sahut Yena mencibir. Ia lalu menarik buku fisika mendekat, "yaudah sini gue coba deh," katanya dengan pasrah.

Hanna merapatkan bibir sejenak, kemudian berdiri dan berbaur bersama teman-temannya yang sudah ke sana ke sini. Ada yang belajar, bermain games, ataupun begibah seperti biasa.

Yena masih di mejanya, mencoba mengerjakan satu soal. "Yaampun ini apa sih..." gumam gadis itu menggaruk rambutnya lagi dan mendecak sebal.

Pasalnya, Yena masuk lima besar di kelas. Sebentar lagi UAS, dan gadis itu tak mau posisinya tergeser. Setidaknya ia harus naik satu tingkat. Tapi bab terakhir ini benar-benar membuat kepalanya botak.

Gadis itu mengerang kecil, mengacak rambut pendeknya dengan frustasi. Ia menghela nafas sendiri, kemudian jadi menjatuhkan kepala ke meja. Pipinya ditempelkan dengan mata menerawang jendela kelas dan bibir manyun.

'Bodo ah mending tidur,' batinnya sebelum menutup kelopak mata.


Tak sadar, sedari tadi ada sepasang mata yang memerhatikannya. Bibirnya jadi menahan senyum, melihat gadis itu sudah frustasi sendiri di mejanya.

"No, kasiin ke Jane dong," kata Lisa yang mendekat pada Eno yang duduk di meja pojok, menyodorkan beberapa kertas lipat warna warni.

Eno menerimanya dan segera menurut, sementara Lisa kembali sibuk ke depan kelas dengan yang lainnya. Cowok tampan itu melangkah ke deretan belakang, melirik lagi Yena yang masih menidurkan kepala ke atas meja. Ia lalu menghampiri Jane dan Jiyo yang ada di pojok lantai belakang kelas, menggunting-gunting kertas warna warni.

"Eh kalau balik sekalian panggilin Jay ya, No," pesan Jiyo yang dibalas cowok itu dengan anggukan tenang. "Sama ambilin lem."

Jadi si pendiam memang begitu. Kerjanya cuma disuruh-suruh aja.

Eno yang ingin berbalik jadi berpikir sejenak. Ia kemudian membelokkan diri, jadi melangkah menuju barisan kedua dari jendela kelas. Kini pemuda itu sudah di belakang si gadis yang menidurkan kepalanya, lalu berdiri ke samping untuk menghadap gadis itu.

Merasa cahaya jendela tak lagi mengenai wajahnya, Yena agak mengernyit. Ia bergerak kecil, tapi masih malas bangun.

Melihat gadis ini sepertinya sudah terlelap, Eno jadi memandanginya. Memerhatikan wajah bulat Yena yang menutup mata dengan tenang. Dada Eno berdebar, hampir tak berkedip menatapi Yena yang tertidur. Tangannya yang dimasukkan ke dalam kantung celana perlahan jatuh keluar, lalu dengan hati-hati terjulur.

Mengusap kepala gadis itu lembut.

Gerakkan itu membuat Yena tersentak. Gadis itu jadi membuka mata begitu saja, makin kaget melihat si tampan itu sudah berdiri di depannya. "Hn?"

Eno yang merasa tertangkap basah, agak merasa salah tingkah. Tapi ia segera menarik tangan dan berdehem, belagak tenang. "Lo... nggak jadi belajar?" tanyanya agak gagap.

Yena mengernyit, mengerjap-ngerjap kali saja ia sedang mengigau. Gadis itu jadi mengangkat kepala, menatap Eno bingung.

Eno merogoh kantong celana seragamnya, kemudian mengeluarkan sesuatu. Menjulurkan sebungkus permen karet. "Kalau lagi belajar kunyah ini, biar gampang ingat."

2A3: 4 Menit 9 Detik ✔ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang