DIMH' 12

38 11 0
                                    

Bianca duduk di lantai balkon kamarnya. Hari ini sudah hari kedelapan setelah hari di saat dia memutuskan untuk tidak bersama lagi dengan Boby. Putus. Kata itulah yang bisa menggambarkannya.

Bianca merasa bersalah, tapi di saat yang sama ia juga merasa lega. Ia merasa bersalah karena sudah menjadikan Boby sebagai korban yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan ini. Dan ia merasa lega karena ia tidak harus merasa melakukan kesalahan besar karena di saat yang sama di dalam satu hubungan, ia juga mencintai laki-laki lain selain Boby.

Bianca menghela nafas. Tatapannya masih tetap ke arah jalanan, jalanan sunyi.

D I M H

Bianca melangkah gontai di sepanjang keheningan koridor yang menuju ke arah kelasnya. Ia sangat teramat tidak bersemangat untuk memijakkan kakinya di tempat ini. Tempat yang bisa dikatakan neraka, dan bisa juga dikatakan surga. Neraka saat seorang guru mengabarkan akan mengadakan ulangan dadakan dan surga saat seorang guru yang sudah menjanjikan ulangan pada hari ini malah tidak bisa hadir dikarenakan alasan yang panjang.

Bianca melangkah masuk ke dalam kelasnya. "Caa!" Suara Sarah memenuhi kelas.

Bianca menoleh, menatap jengah ke arah Sarah. "Whuut?"

"Gak pa-pa, gabut gue." Balas Sarah sambil memasang senyuman yang sangat menggelikan.

Bianca mendecak sebal. "Tai lo, gue kirain apaan."

Bianca berlalu meninggalkan Sarah lalu duduk di tempat duduknya. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku roknya, lalu memainkannya.

"Ca, kata anak sebelah, hari ini ulangan matematika." Gumam Sarah acuh sembaru duduk di tempatnya.

"Whaat!" Bianca berujar dengan intonasi yang bisa dikatakan berteriak, dan tanpa sadar ia sudah ditatap oleh seluruh penghuni kelas yang sudah datang.

"Iya, soalnya semalam si Dede bilang ke gue kalo Pak Kudir bakal bikin ulangan dadakan dari bab 3." Balas Sarah.

Bianca memandang Sarah dengan tatapan penuh kecurigaan. "Gak percaya gue, lo kan tukang tipu."

Sarah berdecak, "CK, ya udah kalo gak percaya, gue sekedar ngingatin."

Bianca berdehem sebagai respon. "Tapi gue rada-rada takut gimana gitu kalo emang beneran, gue belum ada persiapan. Lagian pun kalo si Kudir bikin ulangan yang udah dikonfirmasi dari jauh hari, gue juga gak yakin bakal belajar, palingan ujung-ujungnya gue nyontek jawaban lo." Tuturnya dengan senyuman yang menggelikan di akhir kalimat.

"Sialan lo, gue pikir lo mau buka buku sekedar baca dikit-dikit, ini malah ngandalin gue." Ujar Sarah dengan nada bicara yang pura-pura tak terima kalau dirinya dijadikan mesin contekan oleh sahabatnya sendiri.

Bianca tertawa pelan mendengar keluh-kesah Sarah yang selalu ia jadikan sebagai mesin contekan. "Ha ha ha, kan lo pinter Sar, gak pa-pa kali kalo gue nyontek ke lo, nambah pahala entar." Balas Bianca.

Sarah mendecak pelan, "CK, gue pindah tempat duduk aja lah, di sebelah Lio."

Deg.

Jantung Bianca seolah berhenti berdetak saat Sarah mengucapkan nama Lio. Ia bingung kenapa ini terjadi, kenapa hatinya seterkejut ini saat seseorang mengucapkan nama laki-laki itu. Ya, Bianca juga sudah tahu kalau ia menyukai Lio, bahkan ia sudah sadar akan hal ini dari beberapa hari setelah ia bertemu dengan Lio di Cafe. Ia sudah tahu, kalau ia suka sama Lio. Suka dalam artian Bianca mencintai Lio, mencintai dengan setulus hatinya.

Deep In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang