DIMH' 17

14 4 0
                                    

"Mampus gue," Bianca memukul kepalanya pelan. Gerbang SMA Global sudah ditutup rapat. Ia terlambat.

"Ih, mati gue." Bianca kembali mengumpat.

"Ngumpat mulu lo ya, gak capek tuh mulut?" Suara seorang siswa mengagetkan Bianca. Bianca berbalik ke arah suara tersebut berasal.

Nico.

"Ngapain lo di sini?" Bianca bertanya dengan nada suara yang ketus.

Seketika Nico tertawa, "lo bego, bodoh, atau gimana? Ini 'kan sekolah, ya gue mau ke sekolah-lah, mau belajar, supaya pintar, supaya bisa nikahin lo."

Saat mengatakan itu, pipi Bianca bersemu merah. Jika Bianca punya sayap, mungkin saja saat ini ia sudah terbang tinggi hingga ke langit. "Apaan sih lo! Garing banget." Balas Bianca. Ia sengaja memalingkan wajahnya agar Nico tidak mengetahui kalau pipi Bianca sedang bersemu merah.

"Garing-garing gini pipi lo merah juganya." Ujar Nico dengan raut wajah menggoda, dan itu seratus satu persen membuat pipi Bianca menambah semuan merahnya.

"Ish, lo nyantai banget ya. Kita telat lho, telat!" Bianca berkata dan menegaskan kata terakhir dari perkataannya.

"Kalo bareng sama lo, gue nyantai aja. Mau hujan badai sekali pun gue tetap nyantai, asalkan sama lo." Gumam Nico datar. Tapi, sedatar-datar apa pun intonasi Nico, percayalah bahwa jantung Bianca sedang bergejolak hebat.

Kini, Bianca kembali dibingungkan dengan satu hal yang dari dulu ia takutkan. Perasaan. Entah kenapa saat ini ia menyimpan perasaan yang sama pada dua orang. Atau dalam kata lain, ia mencintai dua orang dalam waktu bersamaan.

Ternyata, hal yang dari dulu ia takutkan terjadi juga sekarang. Padahal ia sudah sangat berusaha agar tidak membuka hati pada laki-laki manapun. Karena ia tau, bermain-main dengan perasaan adalah hal yang amat sangat berbahaya. Dan sekarang, ia sedang di dalam masalah besar. Ibarat sedang berdiri di atar kepala buaya, seperti itulah keberbahayaan yang sedang menghinggapi Bianca.

"Ih gue malas banget nanti pasti hukumannya disuruh lari keliling lapangan atau gak disuruh cabut rumput. Males banget gue, opung jeng-jeng aja gak mau disuruh gituan." Celetuk Bianca.

"Opung jeng-jeng siapa?" Tanya Nico.

Bianca mendecak, "ck, masa lo gak tau? Itu tuh yang rumahnya di belakang sekolah, yang kayak ada banci-bancinya gitu. Doyan sama cowok, apalagi cowok kayak lo" ujar Bianca dengan jari telunjuk yang tertuju ke arah Nico.

Nico bergidik ngeri, "ih, mana mau gue. Gue masih cowok tulen, tulen banget malah."

"Halah, doyan sama Lia juga malah sok-sok tulen." Gumam Bianca.

"Nenek lo kiper, gue gak ada suka sama Lia, ih." Nico berujar dengan intonasi jijik yang luar biasa.

Sebenarnya nama asli Lia yang sedari tadi mereka sebut-sebut adalah Galih. Dan Galih berjenis kelamin laki-laki. Tapi semenjak kecintaan Galih yang luar biasa akan hal-hal yang berbau keperempuanan, maka dari itulah Galih dipanggil dengan nama Lia.

"Masa?" Bianca bertanya dengan suara yang menggoda.

"Sampe gajah bisa telentang juga ngomong sama lo gak bakal kelar-kelar." Nico mengumpat.

"Jangan ngambek dong, sini-sini biar gue kasih permen." Tawar Bianca menganggap Nico seolah anak kecil.

"Gue gak mau permen," balas Nico.

"Jadi maunya apa?"

"Cium pipi gue boleh?" Tanya Nico memasang ekspresi wajah yang sangat lugu.

"Nenek lo make behel," balas Bianca jengkel.

Deep In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang