DIMH' 23

14 1 0
                                    

Bianca menapakkan kakinya di teras rumahnya. Sehabis jam sekolah tadi, ia langsung pulang ke rumah diantar Nico. Tadi Lio menawarkan tebengan, tapi karena Lio mengendarai motor, Nico tidak memperbolehkannya. Jadinya Nico yang mengantarnya pulang.

"Mbok?" Panggil Bianca seraya mengetuk pintu.

"IYA, CA, BENTAR." Sahut Mbok Ijah dari dalam dengan sedikit berteriak.

Kenop pintu bergerak menandakan Mbok Ijah membuka pintunya dari dalam.

"Mama mana, Mbok?" Tanya Bianca seraya masuk ke dalam.

Sebelum Mbok Ijah menjawab, Bianca sudah lebih dulu melihat Mamanya dengan seorang Pria yang seumuran dengan Mamanya. Pemandangan itu seolah menjawab pertanyaan Bianca. Maka dari itu dia bungkam dan berbagai macam pertanyaan terbesit di otaknya.

"Sayang? Udah pulang, ya?" Ujar Mamanya seraya tersenyum miring, "Mas, kenalin, ini anakku, Bianca." Sambung Mamanya kepada Pria yang berada di sa.

"Wah, cantik, ya. Mirip sama kamu," balas Pria itu.

"Ma– itu siapa?" Tanya Bianca dengan suara yang pelan.

"Ini calon Papa baru kamu."

INI. CALON. PAPA. BARU. KAMU. Lima kata itu berhasil membuat Bianca membeku. Hatinya hancur seakan dipukul dengan godam. Air matanya serasa ingin menetes. Tapi ia tahu, ia harus kuat.

Pria yang duduk di sebelah Mamanya berdiri dari tempatnya, menghampiri Bianca yang masih berdiri di dekat pintu.

"Kenalin, saya Evan." Pria itu mengulurkan tangannya.

"BIANCA. Anak Rahmat Wandariyono, dan Adinda Syahputri." Balasnya tanpa mengulurkan tangan, dan lalu pergi meninggalkan Mamanya dan pria bernama Evan itu.

Bianca melesat ke kamarnya. Ia sudah tidak kuasa menahan air matanya yang sudah terbendung. Ia ingin menangis. Kenapa ini semua terjadi? Ia lebih suka orang tuanya yang dulu walaupun ia nyaris tidak pernah mendapat kasih sayang mereka. Daripada harus mendatangi acaran pernikahan Mamanya dengan pria lain. Sekali lagi ditegaskan, DENGAN PRIA LAIN.

Bianca meraih kenop pintu kamarnya, lalu mendorongnya dan langsung masuk ke dalam. Ia melemparkan tasnya ke sembarang tempat, dan merebahkan tubuhnya ke kasur.

Dan benar, air matanya menetes deras dan membasahi pipinya. Ia menangis.

Ia tidak tahan menanggung bebannya sendirian, ia harus berbagi keluh kesahnya kepada orang lain. Nico? Lio? Andien? Sarah? Yash, Sarah.

Ia langsung menekan panel di handphonenya dan langsung menghubungi Sarah.

"Halo?" Sarah berkata dari seberang sana.

Bianca menarik nafasnya agar berhenti menangis, tapi ia malah mendapat yang sebaliknya.

"Lo kenapa? Kok lo nangis, kenapa?" Sarah langsung bertanya dan dari nada bicaranya, Bianca tahu kalau Sarah khawatir.

Bianca menarik nafasnya, "Ma– Mama ni- nik- nikah lag- lagi." Balasnya terbata-bata dan tangisnya kembali pecah.

"Tarik nafas. Calm down, bae." Saran Sarah.

"G- GUE GAK KUAT, S- SAR." Sambung Bianca di sela-sela tangisnya.

"Close your eyes, imagine everything is okay, and keep calm."

"I have to kill myself! Kill me!" Pinta Bianca frustasi.

"Don't be a stup*d girl!"

"I don't have somebody anymore." Ujar Bianca.

"Listen me! You're a stronges girl." Sarah terdengar sedang menarik nafasnya, "gini, ya, Ca, jangan gila! Jangan sampe kepikiran buat bunuh diri!"

Deep In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang