DIMH' 02

128 21 4
                                    

“Bokap nyokap gue udah resmi cerai, Sar.” ujar Bianca seraya menyeka air mata yang membasahi pipinya.

“DEMI?” Sarah memekik kaget saat mendengar ucapan Bianca.

Bianca mengangguk lemah, “iya Sar. Makanya itu, gue kayak orang yang gak ada semangat hidup lagi, gue aja sampe kepikiran buat bunuh diri. Gue nggak kuat Sar, gue nggak kuat.” ujar Bianca lagi, air matanya sudah mengalir deras membasahi pipi dan sampai menetes ke tempat tidur. Sarah memeluk Bianca, berusaha untuk menenangkannya. Tetapi nyatanya, tangis Bianca malah semakin pecah.

“Nangis aja Ca, kalo dengan menangis bisa bikin lo tenang, nangis aja, puasin. Gue juga sering nangis kok, nonton drama korea aja gue nangis.” ujar Sarah menyarankan.

Bianca menyeka air mata yang membasahi wajahnya, menarik nafas, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Eh, keluar, yuk? Nyari angin sekalian nyari cogan.” ajak Sarah.

“Gue males, Sar.” tolak Bianca seraya mengelap air mata yang masih menetes di pipi.

“Hayuk, dah. Kali aja bisa buat lo tenang.”

“Ya udah, deh.” Bianca berdiri, lalu berjalan ke lemari dan mengambil sweater.



D I M H

Bianca dan Sarah berjalan di tengah keramaian malam Jakarta. Sesekali memasuki toko di pinggir jalan, lalu keluar dengan tangan kosong, hanya melihat-lihat. Mereka sengaja berjalan kaki, karena tujuan mereka adalah sekedar mencari angin dan mencari rileksasi.

Bianca mendengus, “ih, gue masih sebel banget sama Tuhan. Kenapa sih Tuhan ngasih kehidupan yang sialan kayak begini.” gumam Bianca mengumpat kesal, kesal karena kehidupannya yang begitu rumit, lebih rumit daripada hal yang terumit sekali pun.


Sarah mendecak sebal mendengar Bianca.

“Lo tuh gak tau diri banget ya Ca, untung-untung Tuhan ngasih kehidupan kayak gini ke elo. Itu tandanya Tuhan masih ingat sama lo.” ujar Sarah menasihati.


“Gak apa-apa kok kalo Tuhan gak ingat sama gue, biar gue gak dapet kehidupan sialan kayak begini. Gue kesal banget Sar, gue benci, gue benci.” Bianca menyeka air mata yang menembus pertahanan yang ia dirikan sekokoh mungkin, lalu mengalir membasahi pipi.

Sarah memegang pundak Bianca. “Ca, lihat gue,” perintah Sarah, lalu Bianca menoleh, menatap wajah Sarah, “lo tau kan, sebelum bokap dan nyokap lo pisah, gue udah lebih dulu ngerasain yang lo rasain sekarang. Bahkan lebih rumit, lebih sakit, lebih parah. Bokap gue meninggal, Ca. Seminggu setelah bokap gue meninggal, nyokap gue masuk rumah sakit, nyokap gue shock karna bokap gue meninggal, dia hampir gila, dia sakit-sakitan, dan akhirnya apa? Nyokap gue nyusul bokap gue, itu bikin gue depresi, gue juga kepikiran kayak elo, bunuh diri, tapi apa? Lo datang ke gue, lo nasihati gue, lo ngasih saran dan masukan ke gue supaya gue bisa lebih kuat menghadapi ini semua. Dan ya, itu sangat membantu. Gue bisa jalani hidup gue lagi seperti sedia kala, gue bisa kembali menjadi diri gue sendiri, diri yang benar-benar diri gue, lo yang nolong gue Ca, elo. Tapi sekarang, malah elo yang lemah, lo depresi, lo kepikiran bunuh diri. Padahal dulu lo yang ngasih saran ke gue supaya gue bisa lebih kuat, dan sekarang, lo yang lemah Ca. Lo harus bisa, lo harus kuat ngadepin ini semua,” Sarah menarik nafasnya, lalu membuangnya perlahan.

Deep In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang