Without sugar ☕

2.1K 115 1
                                    

Malam ini Riel yang menjaga Jacklyn karena Fiandra harus bekerja esok harinya. Riel membatakan pulang ke Bandung karena harus menemani Jacklyn.

Riel sedang berdiri di depan jendela kaca besar, yang menghadap ke arah jalanan raya. Riel menatap kearah gedung gedung yang menjulang tinggi, pikirannya melayang kemana mana.

Riel memikirkan keadaan adiknya sekarang. Riel hanya takut yang tidak tidak terjadi pada adiknya. Bahkan kalo boleh jujur Riel tidak yakin Jacklyn kedepannya akan baik baik saja, mengingat hasil check upnya tidak menujukkan perkembangan yang signifikan.

"Bang.." lirih Jacklyn, ia merasa abangnya karena Jacklyn merasa abangnya sedang banyak pikiran. Riel hanya membalikkan badannya tanda ia menyahut. Air muka Riel terlihat lelah dan penuh kekhawatiran.

"Gue gak mau pake ini lagi boleh?" Ujar Jacklyn sambil menunjuk selang infus yang mengalirkan vitamin didalamnya. Riel mendekati adiknya sambil mengelus pundak, Riel tersenyum tipis.

"Itu belom habis, lu harus ngabisin vitaminnya dulu." Mendengar ucapan Riel, air muka Jacklyn langsung berubah menjadi kecewa.
"Gue gak berharap banyak dari keadaan gue sakarang. Kenapa gue sakit sih bang? Tuhan gak cukup ya ambil kebahagiaan gue? Gak cukup ya ayah?"

"Kok lu jadi nyalahin Tuhan gini sih? Buat apa lu berdoa tiap hari, Gereja tiap minggu?" Ucap Riel tidak suka.
"Gue harap besok gue masih bisa liat matahari bang. Gue tidur duluan bang." Ucap Jacklyn lalu merebahkan dirinya lalu memunggui Riel yang masih berdiri menatap adiknya tajam.

Riel mengusap wajahnya dengan kasar. Jujur, Riel sama sekali tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Ini adalah titik terberat baginya, ia tidak mau kehilangan lagi, setelah kejadian adiknya Renindya. Satu saja masih membekas sampai saat ini.

Riel masih meruntuki hidupnya sekarang, ia kembali tidak menerima keadaannya. Pikirannya terpusat pada Jacklyn, Jacklyn, dan Jacklyn. Ponselnya berdering, diliriknya ponselnya. Terdapat nama El, sang pacar.

"Hi sayang" ujar seseorang di sebrang sana.
"Hi. Kenapa telfon tumben?"
"Aku kangen haha, mau jenguk Jacklyn nih boleh gak?"
"Udah malem, besok aja aku jemput."
"Kok gitu? Aku masih jam setengah sembilan sayang, boleh ya?"
"Pasti macet, kamu mau sampe jam berapa El. Besok aja yaa?"
"Kayaknya kamu lagi banyak pikiran, yaudah besok aja deh tapi gak usah di jemput. Jangan lesu gitu suaranya aku jadi pengen kesana sekarang."
"Okay, iya sayang."
"Riel aku ada di lobby sekarang hehe."

Mata Riel melotot, benar benar gila wanitanya ini.
"El kamu gila ya?"
"Sekarang udah di lift hehe."
"Hih bikin pusing aja sih, yaudah aku keluar sekarang." Ujar Riel lalu memutuskan sambungannya, ia langsung keluar dari ruangan Jacklyn dan menjemput wanita.

Tak lama kemudian El sudah muncul dari ujung lorong, wanita itu berlari kecil sampai akhirnya berakhir pada pelukan Riel.
"Kangen banget ih, jarang ketemu padahal lagi di Jakarta." Rengek El dalam pelukkan Riel. tangan Riel mengelus kepala El lalu mencium puncak kepala wanitanya bertubi tubi.

"Jacklyn gimana?" Tanya El lagi, wajah Riel langsung melesu.
"Dia gak baik baik aja El, gimana kalo aku kehilangan dia lagi?" Balas Riel sambil membuka pintu ruangan Jacklyn, lalu mereka duduk di sofa berdua dengan El yang masih memeluk pinggang Riel posesif.

"Kok ngomongnya gitu sih?" El melepaskan pelukkannya, lalu menatap mata Riel lekat lekat. Tanpa sadar air mata Riel menetes begitu saja.

"Sorry aku cengeng, aku tau aku cowo gak pantes nangis. Tapi kamu harus tau aku belom bisa lepasin Jacklyn, nama Felisitas Renindya aja masih membekas."
"Biar Tuhan yang bekerja dalam setiap hidup Jacklyn, Riel. Biar Tuhan kasih yang terbaik buat Jacklyn, kita kan sama sama berdoa untuk kesembuhan Jacklyn." El menyentuh pundak Riel.

Badboy vs BadgirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang