Veve memilin ujung baju seragamnya. Ia terlihat sedang gelisah.
Ia takut tidak bisa tampil dengan maksimal.
Rey yang duduk di samping Veve menggenggam tangannya.
"Lo kenapa?"
"Ah? Kenapa apanya?" kaget Veve lalu memandang tangannya.
Rey! Tangannya tolong dikondisikan!
"Lo kelihatan gelisah gitu," ucap Rey lalu melepaskan genggaman tangannya.
"Nggak kok. Cuman takut aja."
"Takut kenapa?"
"Takut lupa dialognya." Dan takut baper, lanjutnya dalam hati.
"Santai aja kali, Ve. Kita udah latihan, pasti bisa."
"Giliran kita main!" ucap Rey.
Veve mengembuskan napas kasar lalu maju ke depan kelas.
"Baik, sudah siap?" tanya guru pendamping.
Veve dan kelompoknya mengangguk.
Drama pun dimulai.
🍦🍦🍦
"Kita sukses!" ucap Nathan pada kelompoknya bermain drama tadi, mereka sekarang sedang berada di kantin, sedang beristirahat bersama.
"Iya. Akting lo berdua emang bagus!" Raka memuji Rey dan Veve.
Rey hanya diam dan Veve menunduk malu.
"Iya, gue aja baper lihatnya," ucap Randy.
"Emang laki-laki bisa baper ya?" tanya Maria.
"Laki-laki juga manusia kali. Punya hati juga," sahut Nathan.
"Bener banget tuh, tapi tadi ada adegan yang nggak ada di naskah drama deh," sindir Pipin membuat Veve semakin menundukkan kepalanya.
"Adegan apaan? Perasaan, tadi udah bagus kok," ucap Nevya.
"Itu ... Yang adegan Rey habis nembak Veve."
"Oh, yang tadi Rey meluk Veve?" tebak Maria yang membuat Veve membuang muka ke arah lapangan basket.
Anjir! Gak usah difrontalin gitu kali, Mar!
"Iya, kayaknya ada yang baper tuh." Pipin menunjuk Veve dengan dagunya.
"Itu cuman pendalaman peran aja, biar lebih dapet feel-nya. Nggak ada maksud lain," ucap Rey santai. Namun berefek untuk hati Veve.
Seperti sedang terbang tinggi dan tiba-tiba jatuh ke dasar jurang. Dan itu membuat Veve patah hati.
"Iya, cuman pendalaman peran kok." Veve berusaha terlihat baik-baik saja.
"Aduh." Veve tiba-tiba memegang perutnya.
"Lo kenapa?" tanya Nevya khawatir.
"Maag gue kayaknya kambuh. Gue ke kelas duluan ya."
"Gue anter ya?" ucap Pipin lalu berdiri.
"Nggak usah, gue bisa sendiri kok," tolak Veve sambil tersenyum.
Veve pun pergi dari kantin.
Bukannya pergi ke kelas, ia malah pergi ke taman belakang sekolah.
Sebenarnya, ia tidak benar-benar sakit. Itu hanya alasan agar ia bisa pergi dari sana, agar tidak mendengar fakta lain yang keluar dari mulut Rey. Fakta yang membuat hati Veve cenat-cenut.
"Ah, gue bodoh banget. Bisa-bisanya baper gara-gara tadi Rey meluk gue. Kan itu tadi cuman drama!" gumam Veve lalu tertawa parau.
"Akhirnya baperkan gue. Terus kalau udah patah hati gini salahnya siapa?"
Veve mengembuskan napas lelah.
"Katanya ke kelas?" Sebuah suara mengagetkan Veve. Veve mendongak dan melihat Rey sedang menatapnya.
"Eh, Rey?"
"Iya, ini gue. Kok lo disini?"
"Oh, tadi pas jalan mau ke kelas kerasa udah enakan. Jadi nggak jadi ke kelas," ucap Veve berbohong
"Lo sendiri ngapain kesini?" tanya Veve.
"Gue tadi ke sini mau tidur," ucap Rey lalu duduk di samping Veve.
"Tidur?"
"Iya, gue biasanya tidur di sini kalau jam istirahat. 15 menit lagi bel masuk, jadi masih ada waktu buat tidur."
Tiba-tiba Rey mengubah posisinya dari duduk menjadi terlentang dengan kepala berbantalkan paha Veve.
"Lo ... Lo ngapain?" tanya Veve kaget.
"Tidur."
"Tapi-"
"Biarin gue di posisi gini sebentar aja, Ve. Cuman 15 menit kok," pinta Rey yang membuat Veve diam tak berkutik.
Ia hanya bisa memandang wajah Rey yang sedang memejamkan mata dan kedua tangan dilipat di atas dada bidangnya.
Veve tersenyum melihat Rey yang sedang tidur.
Ia tahu ini tidak benar. Membiarkan hatinya semakin berharap pada sang laki-laki.
Namun, dia juga tidak bisa menghentikannya, apalagi saat semua masih terasa indah. Seperti saat ini.
🍦🍦🍦
#8 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Prince ✓
Fiksi RemajaMana yang akan kamu pilih? Orang yang mencintaimu atau orang yang kamu cintai? Terkadang Tuhan hanya menakdirkan untuk bertemu namun tidak untuk bersatu. Veve menyukai Rey, seorang cowok yang dingin dan cuek, namun perlakuannya manis bagaikan es kr...