Bau minyak kayu putih menyeruak ke indra penciuman Veve.
Veve pun mengerjapkan matanya, kepalanya masih terasa pening, melihat sekelilingnya singkat, untuk melihat ia ada dimana.
Ia menyentuh kepala masih dengan menutup matanya malas, tak lama, ia membelalak.
Ia mengingat serangkaian kejadian yang menimpanya.
Ia tadi pingsan!
Lalu, siapa yang membawanya ke UKS?
Siapa yang mengoleskan minyak kayu putih di hidungnya? Apakah petugas PMR?
"Aw!" Ringisan seseorang membuat Veve kaget bukan kepalang.
Ia berada di UKS sendirian, lalu, siapa yang mengaduh kesakitan tadi?
"Aw!" Ringisan itu kembali terdengar, Veve pun langsung duduk dari posisinya semula.
"Itu suara siapa?" Tanya Veve sedikit ketakutan, lalu ada suara gerakan seperti plastik dari arah samping bawah ranjang pasien, tiba-tiba sosok lelaki muncul dari arah tersebut.
Veve yang kaget pun menjerit ketakutan, namun suara jeritannya berhenti ketika lelaki itu membekap mulutnya.
Mata Veve membulat sempurna saat melihat siapa pemilik tangan itu.
Dia adalah Dio.
Ya, Geral Ferdio Alexander.
Veve mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa ia tak salah lihat.
"Ini gue, Dio," ucapnya.
Benar, Veve tak salah lihat, dia adalah Dio.
Ritme jantung Veve pun berdetak tak karuan. Kali ini, Vebe tahu mengapa jantungnya berdetak demikian.
Tangan Dio lepas dari mulut Veve.
"Muka lo kenapa?" Tanya Veve melihat muka Dio yang babak belur.
"Lo udah siuman, 'kan? Yaudah, gue balik ke kelas dulu," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Veve lalu membalikkan badan, bersiap untuk pergi.
"Bentar!" Veve menarik tangan Dio dan menggenggamnya.
"Gu-gue mau ngomong," ucap Veve sedikit gugup.
Veve mengembuskan napas kasar.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Veve.
Dio melepaskan genggaman tangan Veve dan duduk di ranjang bersama Veve.
Veve menatap tangannya yang tadi mengenggam Dio.
Untuk pertama kalinya, Dio melepaskan genggamannya.
"Yaudah, cepet ngomong," ucap Dio cuek.
"Gue, gue mau minta maaf-"
"Udah gue maafin, ada yang mau diomongin lagi?" Potong Dio.
Veve menatap Dio yang sedang menatap keluar UKS.
Dalam hati, ia bertekad ingin mengatakan apa yang ia pikirkan kemarin sebelum tidur dan sebelum ia bermimpi bahwa Dio telah meninggal.
Mimpi itu telah menyadarkan Veve atas perasaannya.
Perasaan yang selama ini membuat Veve bingung mengartikannya.
"Gue cinta sama lo, Dio!" Ucap Veve dengan sekali embusan napas dan cepat.
Deg!
Deg!
Deg!
Jantung Veve berdetak tak karuan, memompa lebih cepat membuat debaran yang kuat saat melihat respon Dio yang hanya diam.
"Lo ngomong gini tulus atau karena lo udah ditolak Rey dan memilih kembali ke gue?" Tanya Dio ketus.
Veve bungkam, mulutnya tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, ucapan Dio tadi bagaikan sebuah serangan telak bagi Veve.
Air matanya jatuh ke pipinya, tak menyangka bahwa Dio akan menjawabnya seperti itu.
"Kok diem?" Dio menoleh ke arah Veve. "Gak bisa jawab? Yaudah kalau gak bisa jawab, berarti jawabannya adalah, lo ngomong gitu ke gue gara-gara lo udah ditolak Rey," lanjutnya.
Dio berdiri dari duduknya.
Air mata Veve terus mengalir deras.
"Gue ke kelas dulu," pamit Dio lalu berjalan menjauh dari Veve.
"GUE BENERAN CINTA SAMA LO, DIO! GUE NYATAIN INI TULUS DARI HATI GUE!" Teriak Veve.
Dio yang sedang berjalan beberapa langkah pun berhenti dan menoleh pada Veve.
"Gue tau gue salah, gue salah mengartikan perasaan! Jujur, gue kira, gue cinta sama Rey karena jantung gue berdebar keras saat melihat dia, tapi, di sisi yang lain, jantung gue juga berdebar keras saat melihat lo, Dio,"
"Gue bingung, tapi gue sekarang udah sadar, kalau gue cintanya sama lo, bukan sama Rey, gue sekedar mengagumi Rey, tapi gue salah mengartikan itu sebagai perasaan cinta!" Veve menutup wajahnya dengan tangan sambil menangis.
"Gue sadar, gue cintanya sama lo, Dio, hati gue cuman untuk lo," lirih Veve masih tetap menutup matanya.
Hening, hanya suara tangis Veve yang terdengar di ruangan bercat putih itu.
Veve pun tak tahu, apakah Dio masih ada di dalam UKS atau sudah pergi.
Veve merasa sakit di dalam hatinya, bagaikan ditusuk ribuan belati dan memotongnya berkeping-keping.
"Ve," panggil Dio. Veve yang tadi menutup matanya pun melepaskan telapak tangannya dari wajahnya.
Saat ia membuka matanya. Ia kaget karena tiba-tiba Dio memeluk tubuhnya erat.
"Gue juga cinta sama lo, Ve," ucap Dio.
Veve pun tak kuasa menahan tangisnya, air mata luruh begitu saja, ia menangis dipelukan Dio.
Veve membalas pelukan Dio dengan erat.
"Jangan nangis lagi, Ve, udah cukup gue pura-pura gak peduli sama lo, gue sebenarnya gak tega liat lo nangis, Ve, gue pingin hapus air mata lo, tapi waktu itu gue sadar gue gak ada hak lagi buat nglakuin itu."
Dio melepaskan pelukannya dan menatap Veve. "Ve, maukah kamu jadi pacarku lagi?" Tanya Dio, mengubah cara bicaranya menjadi aku-kamu.
Veve tersenyum dan mengangguk. "Aku mau menjadi pacarnya Geral Ferdio Alexander lagi," jawab Veve lalu memeluk Dio.
Kini, Veve tau apa jawaban dari pertanyaannya kemarin.
Pertanyaan antara memilih orang yang ia cintai atau yang mencintainya?
Jawabannya adalah keduanya.
Nyatanya, ia mencintai Dio dan Dio mencintainya.
Keduanya.
Saling mencintai.
Itulah jawabannya.
**********
Tuh, yang minta Dio sama Veve balikan. 😂
Udah balikan, 'kan? Berarti udah otw end dong? Muehehe.
Tbc~
#31-03-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Prince ✓
Genç KurguMana yang akan kamu pilih? Orang yang mencintaimu atau orang yang kamu cintai? Terkadang Tuhan hanya menakdirkan untuk bertemu namun tidak untuk bersatu. Veve menyukai Rey, seorang cowok yang dingin dan cuek, namun perlakuannya manis bagaikan es kr...