(C) Belum Rezeki

454 66 7
                                    

"Sejak kapan kamu jadi perokok?"

Aku langsung menengok kearah sumber suara yang ternyata itu kamu. Aku gak tahu kenapa kamu bisa tahu aku ada ditempat ini, tempat dimana aku yang sedang terduduk dengan secangkir kopi yang hanya tersisa setengahnya lagi. Oh iya, tangan sebelah kananku juga memegang sebatang rokok yang percikan serbuknya sudah bertaburan diatas meja karena asbak yang jauh dari jangkauanku.

Kaget ? Jelas, siapa yang tidak kaget ketika kita tertangkap sedang merokok yang bukan menjadi kebiasaan kita sebelumnya? Aku bukan perokok, semua orang tahu itu. Meskipun teman-teman disekelilingku itu perokok, aku tidak pernah tergiur akan sebuah barang yang 'katanya' bisa menghilangkan beban pikiran itu, pernah sesekali aku mendapat tawaran untuk mencoba barang itu, namun aku menolaknya dengan berbagai alasan. Tapi berbeda dengan malam ini,

"Aku nanya sejak kapan kamu jadi perokok?"

Kamu mengulang pertanyaan dengan nada yang sedikit lebih tegas, yang setelah itu kamu berbicara kepada ibu yang memiliki warung tersebut untuk memesan segelas teh manis hangat. Sedangkan aku sibuk menyesap rokok yang berada ditangan sebelah kananku lalu menghembuskannya menjadi asap yang mengepul diudara.

Dan aku masih terdiam.

"Yeol, aku punya asma, kamu gak lupa kan?"

"Aku gak nyuruh kamu buat kesini, Gi."

Aku yakin kamu pasti kecewa mendengar jawaban yang aku lontarkan barusan, toh tapi itu memang kebenarannya kan, Gi?

"Jadi sekarang kamu ngusir aku, Yeol? Oke, aku gak bisa tinggal serumah sama orang perokok asal kamu tahu Yeol."

Chanyeol sadar yang dipinggir kamu itu sekarang pacar kamu, calon istri yang sebentar lagi bakalan jadi istri kamu, yang bakal serumah bahkan sekamar sama kamu, dan yang gak bisa lama-lama menghirup asap rokok, itu Seulgi pacar sekaligus calon istri kamu, Yeol.

Setelah kesadaran itu sepenuhnya datang, kamu yang sudah berdiri dan siap untuk melangkah pergi meninggalkan aku pun langsung kutarik tangan kamu untuk duduk kembali, disebelahku seperti lima detik sebelumnya.

"Sebentar, aku mati-in rokok dulu baru anterin kamu pulang,"

"Sekarang aku gak mau pulang kalau kamu belum cerita kenapa kamu kayak gini,"

Diantara beribu-ribu orang diluar sana yang dekat denganku, sepertinya yang cepat peka akan perubahanku itu hanya kamu ya, Gi. Aku gak ngerti kamu bisa se-peka itu padahal aku sudah mencoba untuk menutupinya dengan amat sangat rapih, tapi sekarang akhirnya aku menyerah.

Aku nyerah untuk bersikap baik-baik saja didepan kamu selama akhir-akhir ini, aku nyerah buat mengambil aksi diam ketika setiap malam kamu bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak, aku nyerah sama semuanya, Gi.

"Projectku ditolak. Aku ngambil ide itu dari perusahaan orang lain, kata pak Dean. Aku gak tahu pak Dean dapet info palsu itu dari mana, yang jelas siang tadi kertas project hasil lemburku kemarin-kemarin diilempar tepat diatas meja aku sampai berceceran kemana-mana, mana dilihat karyawan-karyawan yang lain.

Aku emang anak baru disana, aku kerja belum sampai dua tahun seperti yang lainnya, tapi aku juga gak sebodoh itu buat nyuri ide orang lain. Kamu ngerti kan, Gi? Aku tau ide itu mahal, makanya aku berusaha untuk ciptain ide itu dengan hasil pemikiranku sendiri, mana berani aku ngambil ide orang lain. Itu namanya pembajakan."

Akhirnya, Gi. Akhirnya aku bisa meluapkan segalanya didepan kamu, malam ini. Dan aku seperti sekarang itu karena project ini adalah salah satu cara untuk aku agar bisa naik jabatan menjadi pegawai tetap dengan cepat. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, sudah berapa kali aku mencoba memberikan penjelasan kepada pak Dean hari ini, beliau kukuh dengan informars yang dia dapatkan berkenaan dengan aku yang beritanya mencuri ide dari perusahaan orang lain.

"Ya ampun, Yeol. Gara-gara ini kamu lari ke rokok?"

"Aku pusing, Gi. Aku dipojokin sana-sini ditempat kerja yang jelas mereka gak tahu apa-apa, kebayang gak sih aku cuma berinteraksi sama Ben, Riyo, dan Krystal doang, Gi. Cuma mereka yang percaya aku gak melakukan hal itu."

"Aku percaya kok sama kamu, kalau kamu cerita ke mamah dan papah kamu juga mereka bakal percaya sama kamu. Mereka pojokin kamu karena mereka belum tahu yang sebenarnya, Yeol. Mereka belum kenal kamu lebih jauh, mereka cuma tahu nama kamu bukan tahu tentang kamu. So? Buktikan sama mereka kalau kamu gak melakukan hal itu, waktu bakal jawab semuanya,"

Aku udah bilang, rasanya akan sia-sia jika aku membuktikan semua itu pada mereka termasuk pak Dean. Pegawai baru akan selalu kalah dengan dengan pegawai lama, itu yang dipikiranku sekarang. Sampai dimana aku tidak sadar mengambil -lagi- satu batang rokok dari saku celana kerjaku, yang membuat kamu terlonjak kaget.

"Sini rokoknya, aku juga mau nyoba gimana rasanya sebatang rokok yang bisa jadi favorit laki-laki,"

Kamu merebut rokok itu dari tangan aku, lengkap dengan korek api yang sudah siap diatas meja. Dengan tingkah yang so-so an, kamupun menyalakan rokok tersebut dengan sesekali menatap rokok itu dengan seksama. Sedangkan aku tetap mengawasi pergerakan apa yang selanjutnya akan kamu lakukan.

"Apasih, Gi. Gak baik buat kesehatan kamu, sini-sini, balikin." Aku merebut rokok itu kembali setelah melihat pergerakan kamu yang mulai mendekatkan rokok ke bibir kamu

Seperkian detik aku berusaha untuk mematikan rokok tersebut dan merubah arah duduk menjadi menghadap kamu, sedangkan kamu tetap diposisi dimana sedang menatap kearahku dengan airmata yang siap tumpah jika kamu berkedip.

"Kamu bilang rokok gak baik buat kesehatan aku, rokok juga gak baik buat kesehatan kamu, Yeol. Rokok gak baik buat kesehatan manusia. Banyak solusi yang bisa menyelesaikan masalah kamu , entah itu solusi dari orang-orang yang termasuk aku, Yeol. Tapi bukan solusi ini yang harus kamu ambil, rokoklah, kopi item lah, itu bukan kamu banget, Yeol. Aku mau coba kopinya," ungkap kamu sambil mengambil cangkir yang berisi kopi didepanku

"Jangan, pahit. Kamu gak bakal suka." kataku langsung mencegah dan menjauhkan cangkir itu dari kamu

"Kamu juga gak suka pahit, Yeol. Kamu gak suka kopi,kamu gak suka ngerokok, kamu gak suka liat aku nangis, tapi kenapa kamu selalu bikin aku nangis, Yeol?"

Entah mendapat dorongan darimana, air mataku jatuh begitu saja ketika kamu berbicara seperti itu.

"Aku udah janji sama kamu, sama ayah dan ibu kamu kalau aku bakalan nikahin kamu kalau aku udah jadi pegawai tetap. Tapi aku gagal, Gi. Aku harus gimana?"

Selama aku menjadi pacar kamu, baru sekarang aku selemah ini dihadapan kamu, Gi. Dengan pakaian yang sudah kusut, dengan wajah yang aku yakin sudah kucel, dan terutama badanku yang bau asap rokok. Namun kamu tetap berada diposisi yang amat sangat tak berjarak denganku, kamu menangkup wajahku dengan kedua tangan sambil mengusap pipiku yang basah akibat air mata yang kujatuhkan.

"Kamu gak gagal, Yeol. Buat jadi pegawai tetap, mungkin sekarang bukan rezeki kamu. Aku yakin ayah dan ibu bakal ngerti kalau kamu jelasin semuanya sama mereka. Kamu cukup jadi diri kamu sendiri, aku gak mau kamu kayak gini lagi lari ke rokok atau yang lainnya, apapun masalahnya pelarian kamu harus aku.

Calon imamku yang hebat, baik hati dan tidak sombong, kamu bakal lakuin apa yang aku bilang barusan kan?"

Aku mencoba mengubah penglihatanku menjadi mengarah pada ke dua mata kamu, lalu kutarik bibirku dari samping kiri dan kanan yang menjadikan itu sebuah senyuman. Dan diikuti dengan jawaban,

"Demi kamu calon makmumku, besok aku akan menemui ibu dan ayahmu."

Biarkan malam ini saja aku lemah dihadapan kamu, Gi. Karena setelah ini, tidak akan ada kedua kalinya aku seperti sekarang ini. Seberapapun sulitnya masalah yang akan aku hadapi dan yang akan kita hadapi kelak, dengan sepenuh jiwa aku akan menghadapinya dengan senyuman dan akan kupasrahkan segalanya kepada Tuhan. Karena dengan Tuhan ada, masalah tiada.

HomeWhere stories live. Discover now