2. Nanta (revisi)

25.3K 1.1K 25
                                    

"Drama banget lo, masih pagi juga."
-Xio-

***

Suasana kelas baru masih ramai, banyak dari mereka yang belum mengenal satu sama lain. Mereka saling berkenalan tapi beda halnya dengan Rilla yang malah asik dengan kegiatannya, mengamati. Rilla menyukai interaksi jabat tangan teman-temannya, hatinya menghangat melihat itu, tapi ia tak ingin untuk ikut andil didalamnya. Dia lebih suka duduk di kursinya sambil menelengkupkan tangan di meja sebagai tumpuan untuk menyenderkan kepalanya.

Keanehan itupun terjadi saat Rilla sedang asik melihat Feli yang tak henti hentinya menggoda Udin. Kelas yang tadinya riuh seperti pasar murah mendadak senyap tanpa diaba-aba. Tak mungkin ada guru di hari pertama masuk sekolah, tapi kenapa mendadak semuanya diam tenang tak bersuara, pikir Rilla. Ia yang penasaran langsung mengecek pintu kelas. Di ambang pintu, didapatinya seorang laki-laki sebayanya memakai seragam yang sama dengannya, tentu bukan murid baru, tapi mengapa semuanya diam seperti melihat sesuatu yang spektakuler. Rilla mengakui jika cowok itu terlihat tampan atau bahkan sangat tampan, namun hal tersebut tak membuatnya menjadi seperti teman-temannya yang lain. Dan anehnya lagi, dia tak pernah melihat cowok itu di Hillary.

Rilla masih menatap gelagat cowok itu. Teman temannya banyak yang menyapanya namun dengan sombongnya tak digubris sama sekali oleh cowok itu.

"Sombong."

Satu pemikiran yang Rilla dapatkan dari sikap cowok itu. Di belakang cowok itu ada salah seorang temannya, dan lagi-lagi Rilla tak mengenal siapa gerangan si cowok itu. Matanya beralih lagi dengan cowok pertama, Rilla merasa pernah menjumpai tapi ia lupa dimana tempatnya. Kornea hitam pekatnya berhenti menatap tepat pada tas cowok itu.

Tas... abu abu...

Tas abu abu ...

Tas abu abu!! Wait! Rilla ingat sekarang, pemilik tas itu yang menabraknya tanpa meminta maaf tadi pagi. Ia melompat dari tempat duduk yang ia duduki sedari pagi. Ia menyesal menilai cowok itu tampan bahkan sangat tampan, jika saja dia tau bahwa itu adalah cowok yang menabraknya, ia akan mengatakan cowok itu buluk bahkan sangat buluk tanpa memedulikan fakta yang sebenarnya.

Dengan cepat ia menghadang cowok bertas abu abu itu. Tangannya yang pendek ia rentangkan. Ia langsung mendapat tatapan bingung dari cowok ber-tas abu abu, teman dibelakangnya dan seluruh siswa IPA 4.

"Lo!! Yang tadi pagi nabrak gue!!" jari telunjuk Rilla menunjuk tepat di muka cowok bertas abu abu itu.

Kelas senyap setelah Rilla menuding cowok ber-tas abu-abu. Cowok itu mengernyit, mengingat sesuatu. Tapi kerutan di dahinya menghilang dan berganti dengan tatapan bertanya 'siapa lo?'

Dengan instingnya yang tinggi ia menjawab. "Jangan kek banci dong, kalau punya salah tuh minta maaf." Cerocos Rilla tanpa memedulikan sekitarnya yang kaget karena idola mereka dijelek-jelekkan. Untuk kedua kalinya, dahi cowok itu mengerut, memikirkan cerocosan Rilla.

"Minggir, gue mau duduk." Katanya datar tanpa minat meladeni ucapan Rilla. Mata-nya memancarkan aura dingin yang membuat suasana sekitar terlihat lebih mencengkam. Tangannya masih setia di saku celana. Melihat sedikit celah disamping Rilla, karena Rilla tak dapat menjangkau itu dengan tangannya, ia menggunakan celah itu untuk melewati Rilla menuju sebuah tempat duduk kosong. Untuk pertama kalinya, Rilla menyalahkan tangannya yang pendek, ralat kurang panjang.

Dengan rasa kesal yang menumpuk jadi satu, ia kembali ketempat duduknya disamping tempat duduk Aurel dengan mengehntak-hentakkan kakinya.

"Sumpah gue kesel banget sama tuh orang!" adunya kepada dua sahabatnya itu.

My Perfect RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang