Pagi ini, seperti biasa Rilla heboh mencari barang barangnya yang hendak ia bawa ke sekolah. Berhubung hari sudah mulai siang, ia tambah heboh apalagi supir yang biasa mengantarnya sedang sakit. Alhasil ia harus naik taksi.
"Mah, sepatu hitam putih Faye mana?! Aduh, udah siang nih." protesnya sambil berlari mengambil dari yang belum dipakai.
Tangannya dengan luwes memakai dasi tersebut, walaupun dibilang buru buru tapi menurut Rilla tampil rapi itu suatu keharusan.
"Yang naroh sepatu di bawah meja makan siapa?!" seru Mamanya dari dapur.
"Faye engg—"
"Cari dulu baru protes kalo gak ada." Mamanya memotong ucapan Rilla yang hendak membantah sebelum mencari sepatunya di bawah meja makan.
Rilla bergegas melongok ke bawah meja. "Udah, tapi nggak A—ADA!!" serunya saat melihat sepatunya teronggok dibawah meja. Memang seperti itu kelakuan Rilla saat ia mencari barangnya sendiri yang berceceran dimana mana. Beberapa kali ia mencari tak pernah ketemu tapi jika Mamanya yang mencari malah langsung ketemu.
Rilla dengan cepat mengenakan sepatunya. Jam sudah menunjukkan pukul 6.30, 15 menit lagi pintu gerbang sekolahnya akan ditutup.
"Maaa, Faye berangkat. Assalamualaikum!" serunya sambil berlari.
"EH! SARAPAN DULU!!"
"UDAH TELAT!" jawabnya saat ia mendengar suara Mamanya sampai di halaman depan.
Rilla berlari keluar rumah tapi saat ia berlari melewati gerbang, tepat dimuka gerbang ia menabrak seseorang.
"Aduh!" ucapnya menunduk sambil memegangi dahi. "Permisi ya, saya mau lewat. Aduh udah telat ini!!" Rilla mengecek jam ditangannya, tapi seseorang itu masih menghalangi jalannya.
"Buru buru amat mbak, kek di kejar rentenir." kata seseorang yang ditabrak Rilla. Rilla belum melihat wajahnya karena ia sedang jongkok sambil menali tali sepatubnya yang lepas.
"Sorry ya, gue gak ada waktu buat ngeladeni lo." ia mengikat tali sepatunya dengan sembarangan.
"Kalo saya boncengin sampe kesekolah mau gak?"
"Gak usah, gue udah pesen taksi." tolaknya langsung padahal ia belum memesan taksi.
"Beneran nih kagak mau?" Rilla yqng sibuk menali sepatu tak mengenali suara itu.
"Gak, mending lo pergi aja."
"Bener gak mau?" Rilla sudah selesai menali sepatunya, karena geram dengan orang itu ia pun mendongak.
"Loh Nanta? Dari kapan lo disitu?" tanya Rilla saat ia melihat Nanta sudah ada di depannya.
"Kan dari tadi gue disini." ucap Nanta santai, tangannya memainkan kunci sepeda motor.
"Masa sih? Gue gak liat tuh. Eh tapi mana orang yang tadi nabrak gue ya?" dengan bodohnya Rilla malah bertanya kepada Nanta.
"Lo konslet atau udah kadaluarsa sih? Jelas jelas gue yang tadi nabrak lo Fayeee!"
Tangannya dengan spontan mengacak acak rambut Rilla. Rilla mengerucutkan bibirkan karena rambutnya rusak. Tapi dibalik itu, hatinya mulai menghangat. Ia suka perilaku Nanta yang seperti ini. Ia suka diperhatikan oleh Nanta walaupun itu sebuah perhatian yang kecil.
"Ih! Rusak lagi kan rambut gue!' tangan Rilla mulai merapikan rambutnya kembali. "Eh! Lo mau jemput gue kan? Yuk buru! Udah telat nih!!"
"Dih siapa juga yang mau jemput lo! Gue cuma lewat abis beli sarapan."
"Mana ada beli sarapan sampe sini, udah deh gausah boong."
"Nih gue beli! Ngapain coba boong, apalagi boongnya ke lo. Minggir! Ngalangin gue aja!" ucap Nanta sambil menggeser tubuh Rilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Teen Fiction(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...