Rilla tak begitu terkejut mendapati tempat keaayangannya hancur berantakan. Tak usah ia mencari siapa biang keroknya ia tau pelakunya. Ia mengambil sapu dan ijuk lalu membersihkannya. Dengan telaten ia memberesi pecahan kaca yang bertebaran di lantai.
"Aduh!"
Rilla memekik, ibu jarinya terkena pecahan kaca. Seketika darah merembes disana. Spontan ia langsung mengambil tisu dan melilitkannya diluka itu, lalu ia melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Tangannya dengan sigap meraih ijuk yang tadi ada disampingnya. Ia menggapai gapai namun ijuknya tidak ada. Ia menoleh, sepasang kaki mrnghalangi pandangannya. Ia mendongak, sang pemilik kaki menyengir kearahnya.
"Ck, ngapain lo disini? Ganggu orang aja." sapa Rilla, ia berdiri mensejajarkan posisinya walau yang diajak bicara masih lebih tinggi darinya.
"Sini gue bantuin."
Nanta merebut sapu ditangan Rilla. Tapi gagang sapu tersebut malah menyenggol jari Rilla yang terkena pecahan kaca.
"Ahhh." rintihnya. Nanta yang semula fokus dengan sapu langsung teralihkan.
"Jari lo, luka? Kok nggak dibersihin dulu." Nanta memegang jari Rilla untuk melihatnya. Ia mengamati seberapa parah lukanya.
"Sini!" Nanta menarik Rilla menuju kotak P3K disebelah ruang privat.
"Gue gak papa Nan, cuma kegores dikit."
Rilla berniat mengibaskan tangannya tapi Nanta lebih dulu memegang tangannya dengan erat. Ia menarik tangan Rilla agar mendekat.
"Ini tuh harusnya dibersihin dulu baru bersihin ruangannya. Kalo lo gak bisa lo bisa minta tolong gue buat ngobatin ituh luka."
Tangannya dengan cekatan mulai mengoleskan etanol pada kapas dan menempelkannya perlahan diluka. Rilla meringis sedikit merasakan lukanya tersentuh etanol. Tapi ia berusaha untuk tidak berteriak apalagi berontak.
Ia mendongak, mata itu amat teliti melihat luka Rilla. Mata bening yang membuat Rilla terdiam memandanginya namun cepat cepat ia sadar lalu menunduk. Ia tak kuat lama lama memandang mata yang meneduhkan itu.
"Selesai!"
"Eh, apa? Ah udah selesai ya? Makasih." kata Rilla gelagapan.
"Iya sama sama, lain kali hati hati ya."
Rilla mengangguk. "Sini gue bantu." Nanta mengambil sapu lalu membersihkannya.
Mereka saling bahu membahu mulai menata perabotan yang ada dilantai. Rilla kerap kali mengusap peluh yang menetes didahinya. Seragam Nanta sudah basah dari tadi.
"Nih pake." Rilla memberikan Nanta sebuah kaos bertuliskan 'Mine'.
Nanta mengernyit. "Mine?"
"Ehh, apaan? Jangan mikir macem macem deh. Emang milih gue kok."
"Hah?" ia menggaruk kepalanya, tambah bingung.
"Ge-er banget lu! Kaosnya 'milik' gue! Bukan lu 'milik' gue!" jawab Rilla sambil tertawa.
Nanta melempar kaos yang hendak dipakainya tepat pada muka Rilla.
"Noh ambil gue gak butuh."
"Cie marah." goda Rilla.
"Sapa juga yang marah." ucap Nanta dengan nada ketus.
"Lagian lo udah jadi 'milik' orang kan Nan? Gak perlu gue miliki." Nanta yang tadinya merapikan meja terdiam sejenak lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Bahasa lo kek gue udah jadi suami orang aja."
"Ya enggak gitu, tapi benerkan lo udah ada yang punya?" tangan Rilla dengan lincah mengambil pel walau hatinya sedikit sakit mengucapkan kata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Teen Fiction(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...