Vote yuk :)
10 tahun kemudian.
Gadis itu, gadis bermata sayu itu sedang duduk di sebuah bangku. Ia melamun, ia termenung dalam kesendiriannya. Saban sore ia selalu mengunjungi tempat ini. Tempat yang menjadi tempat favoritnya 10 tahun terakhir. Sering kali ia duduk sampai senja menjemput matahari diufuk barat. Dikala hujan turun, ia tetap di tempatnya, disebuah kursi yang menghadap kelautan lepas. Walau bajunya tempias terkena air hujan, ia tetap disana. Dinginnya angin dan kerasnya suara ombak tak akan bisa mengganggunya. Entah apa yang sedang ia lakukan, ia selalu terpekur memikirkan segala kejadian dalam hidupnya. Namun, setiap ia kembali ke rumah, setelah dari tempat itu, hatinya sedikit tenang.
Gadis itu, gadis yang 10 tahun lalu masih berumur 17 sekarang sudah dewasa. Rupanya bertambah cantik walau umur bertambah tua. Gurat gurat wajahnya masih terlihat sama seperti sepuluh tahun lalu, hanya saja ekspresi itu yang berbeda. Senyumnya yang manis tak pernah ia tampakkan lagi. Ia duduk, memegang sebuah benda berkilau. Tangannya selalu memegang benda itu ketika ia berada disini. Benda itu adalah sebuah cincin dan sebuah liontin. Cincin yang ia berikan kepada seseorang tapi seseorang itu mengembalikannya kembali. Sedang liontin itu tak punya tuan. Si gadis itu bingung hendak mengapakan liontin tak bertuan itu. Dulu, liontin itu mrmang miliknya, namun sekarang liontin itu tak dimiliki oleh siapapun.
Ia menghela nafas berat. Dipandanginya ombak yang datang dan pergi silih berganti. Laiknya manusia, mereka memang kadang datang lalu tak berapa lama mereka pergi meninggalkan sebuah memori yang tak akan pernah dilupakan.
Dia adalah Rilla, Rilla si Pararel 1. Sekarang ia telah berumur 27 tahun. Ia sudah menjelma menjadi gadis cantik yang disukai banyak orang. Sikapnya yang ramah membuat ia menjadi disayangi banyak orang. Dia sekarang bukan lagi Rilla yang amatiran dan ceroboh. Ia adalah gadis tangguh yang selalu membuat bangga kedua orang tuanya. Rilla masih tinggal di Jogja, setelah lulus dari jurusan bisnis & manajemen UGM, ia bekerja diperusahaan milih Papanya. Ia menetap di rumah neneknya, di daerah Gunung Kidul dekat dengan pesisir pantai selatan atau Samudra Hindia. Letak rumahnya juga tak jauh dari bibir pantai, oleh sebab itu Rilla selalu menghabiskan senja dengan memandangi laut setiap harinya. Tempat sejuta pemandangan itu, membuat Rilla sangat betah.
Hijabnya berkibar terkena angin. Ya, dia sekarang berhijab. Dia bertambah baik setiap harinya, berkat Adira yang selalu menasehatinya, ia jadi paham makna perempuan di dalam balutan hijab. Sudah 8 tahun lalu ia memutuskan untuk berhijab. Hal itu justru menambah nilai kecantikan seorang yang bernama Rilla itu.
Setiap akhir pekan, Rilla menghabiskan waktunya di rumah, membantu keluarga ataupun mengajari anak anak sekitar membaca dan menghitung, anak anak sangat suka dengan sikap Rilla yang menyenangkan. Dan Rilla menikmati waktunya mengajari anak anak, sekiranya ia bisa melupakan hal pahit itu.
"Rilla,.." seseorang menepuk punggungnya. Rilla berbalik, dilihatnya orang yang sepuluh tahun ini selalu berada di sampingnya. Adira.
"Duduk Dir, baru sampai?" Rilla menepuk space di sebelahnya. Adira memutari kursi lalu duduk disamping Rilla.
"Masih betah aja kamu disini." Ucap Adira saat dia baru saja duduk.
"You know-lah, efeknya masih terasa banget."
Adira menatap Rilla intens. Merasa ditatap secara intens, Rilla pun membalas tatapan Adira. "Rill, udah 10 tahun yang lalu. Kamu gak bisa kek gini terus! Kamu selalu mikirain dia, sampai kadang kebawa sakit. Apa dia juga pernah mikirin kamu seperti kamu mikirin dia? Gak Rill! Kalo dia beneran mikirin kamu, dia pasti sering telpon, sms atau apalah yang lainnya. Jadi stop mikirin dia!" Adira akhirnya mengungkapkan kekesalannya yang selama ini ia sembunyikan. Ia tak bisa terus terusan menyembunyikan kekesalannya, ia tak ingin sahabatnya terus terpuruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Teen Fiction(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...