Thirty Three "Let Her Go"

11.8K 848 205
                                    

------VOTE YUK!------

Rilla POV

"Egois lo Rel!" teriak gue saat Aurel pergi.

Gue hampir nangis gegara Aurel, dia dengan egoisnya pergi gitu aja. Apa ini arti persahabatan kita selama ini?

Gue bangkit. "Gue bakal cari pedonor secepatnya!" ucap gue dengan mantab.

"Gue juga bakal-"

Krekk.

Pintu ruang operasi berderit. Gue dan yang lainnya menoleh. Beberapa orang dokter keluar dari sana.

Mereka menghampiri kita. "Operasinya sudah selesai." pimpinan tim dokter berbicara.

"Hah? Ini baru sekitar 7 jam, katanya butuh 12 jam dok." ucap gue kaget karena operasi berjalan lebih cepat.

"Seharusnya memang seperti itu, tapi kenyataannya Tuhan berkehendak lain." gue terhenyak, bukan ini yang kita harapan. Nafas gue tercekat, gue gak bisa ngomong apapun.

"Maksud dokter?" tanya Nanta yang sedari tadi bingung dengan apa yang terjadi. Ia mendekat kearah dokter.

"Awalnya, operasi berjalan lancar. Namun salah satu pembuluh darah tiba tiba pecah. Kami berusaha sebaik mungkin menanganinya, kalian mungkin melihat rekan kami lari larian membawa kantong darah kan? Sampai persediaan darahnya habis dan kita kehilangan dia."

Nanta menggeleng, ia tak terima dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Kehilangan?" ulangnya. Gue udah diem dibelakang tanpa ngomong sepatah kata pun.

Dokter itu mengangguk. "Dengan berat hati saya umumkan. Felicia Deana, waktu kematian Rabu, 21 Juni 2017 pukul 02.24. Penyebab, kecelakaan yang mengakibatkan benturan keras di kepala. Semoga amal ibadahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa." dengan takzim dokter itu menunduk.

"Innalillahi wa inna illahi roji'un." ucap kita serempak.

Air mata itu pun luruh, mengucur dengan derasnya disertai isak tangis orang yang ditinggalkan. Gue terjatuh mendekap lutut, menangis sekencang kencangnya. Nanta malah bergegas masuk ke ruang operasi, dia melihat tubuh kaku itu masih mengenakan pakaian operasi. Tangisnya pecah ketika mengetahui sahabatnya tiada. Obee menatap pintu ruang operasi dengan tatapan kosong, perlahan sebutir demi butir cairan bening itu turun. Ia terisak, terisak amat pedih.

Airmata ini masih mengalir membasahi pipi. Rasa kantuk menguap setelah mendengar kabar ini. Baju yang lusuh menjadi basah terkena tetesan air mata. Gue masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Sahabat gue meninggalkan gue tiba tiba. Ia pergi ke suatu tempat yang tak bisa gue kunjungi.

Nanta keluar, dia mengahampiri Obee yang masih menatap kosong kearah pintu. Nanta mendekap Obee, ia menguatkan Obee dengan dekapannya.

Sekarang, siapa yang bakal meluk gue kek gitu?

Nanta dan Obee menghampiri gue yang terduduk. Dia memegang bahu gue menyalurkan kehangatan. Airmata gue tak berkurang sedikit pun. Malah semakin bertambah.

Nanta membisikkan sesuatu. "Feli mau ketemu sama lo, lo gak mau ketemu sama Feli?" Suaranya menahan tangis, Nanta tak lagi menangis, hatinya lebih tegar dari pada gue. Ia berbicara seakan semuanya baik baik saja.

Gue tak menjawab, hanya menangis. Nanta dan Obee mengusap bahu gue. Tangan Nanta mengusap airmata gue. "Kalo mau ketemu sahabatnya gak boleh nangis."

Obee menuntun gue berdiri. Gue berdiri dengan lemas diapit oleh mereka. Gue digandeng menuju ruang operasi. Nafas gue udah gak karuan, rasanya seakan berada diruangan tanpa oksigen.

My Perfect RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang