Fourty Seven "He Left"

10.7K 666 159
                                    

Keep Voting :)

“FAYE!!”

Bagai melihat sesuatu yang ia takuti, Nanta memekik. Kaget melihat Rilla ada di depannya dengan mengenakan dress yang sepadan dengan warna jasnya. 

“Gg..gu..gue, ggue takut.” Senyum yang ia pamerkan sedari tadi lenyap berganti dengan ketakutan. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya.

Nanta mendekati Rilla. Ia membawa Rilla ke tempat yang lebih nyaman. Rilla menurut, sebab ia tahu bahwa yang membawanya adalah kekasihnya. Mereka duduk di kursi taman gedung tempat resepsi. Terjadi kecanggungan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Rilla tak akan memulai percakapannya terleih dahulu, ia ingin mendengar pengakuan Nanta tanpa ia tanya. Nanta yang sedari tadi menatap kearah lain bingung hendak berbicara apa.

“Kapan kamu sampe sini?” tanya Nanta akhirnya.

Rilla diam, tak berniat menjawab basa basi Nanta. bukan itu yang ingin ia dengar saat ini. Sedangkan Nanta sama bingungnya, ia sudah membuka obrolan tapi Rilla tak menanggapinya. Selain karena Rilla tak ingin mendengar basa basi, ia juga masih sangat takut akan kejadian tadi. Masih terbayang dibenaknya ketika Nanta membentaknya.

“Kamu apa kabar?” ia berbasa basi lagi. Rilla masih tak menghiraukannya. Untuk apa Nanta bertanya jika Rilla saja sudah ada dihadapannya.

Nanta salah tingkah, ia tak tau mau menanyakan apa lagi. Gerak geriknya terlihat sangat buru buru. Tak mungkin ia pergi begitu saja meninggalkan Rilla yang mengejarnya.

“Seharusnya aku yang tanya, kamu apa kabar? Kemana aja selama ini? Udah lupa kalo masih punya pacar?” satu kalimat Rilla menohok Nanta.
Nanta hanya menunduk, tak menjawab.

“Kenapa gak jawab?”

“E..eee..ee.”

“Akhir akhir ini kamu kenapa sih Nan? Kamu berubah tau nggak, kamu kek bukan diri kamu. Kamu jarang kirim pesan ke aku, selalu aku yang kirim pesan duluan itupun baru dua hari kamu balasnya, bahkan sampe seminggu.” Ia menghela nafas. Disampaikannya uneg unegnya selama sebulan ini.

“Tiap kali telponan, selalu aja ada alesan kamu buat cepet cepet nutupnya. Hp juga jarang aktif. Kamu kek menghindar dari aku.” Matanya berkaca kaca, Rilla berjanji tak akan menangis kali ini.

Mata Nanta menatap tepat di mata Rilla. “Aku sibuk Fay, kamu juga tau itu. Aku mahasiswa baru, ada banyak hal yang perlu aku urusi.”

“Kamu pikir kamu aja yang sibuk? Kamu pikir kamu aja yang jadi mahasiswa baru? Aku juga sibuk Nan, tapi aku gak lupa sama hubungan kita.” Rilla frustasi, ia menegaskan statusnya sebagai mahasiswa baru yang juga sama sibuknya.

“Udahlah Fay, ngapain kita bahas itu disini. Mending kita langsung ke dalem, ada janji yang harus kita tepati.”

Nanta beranjak memasuki gedung meninggalkan Rilla yang masih tak percaya dengan perubahan sikap Nanta yang dirasa cukup drastis. Bagaimana bisa seorang Nanta meninggalkan Rilla sendirian.
Rilla memahami sesuatu, ia tau Nanta kesini hanya untuk menepati janji yang ia buat dengan Rilla dua bulan yang lalu di suatu rumah makan. Bukan untuk menemui Rilla, hanya menepati janji, itu saja.

Dengan lesu, Rilla menyusul Nanta yang sudah ada di dalam gedung pesta.

Suara musik romantis terputar seantero ruangan. Tepat di tengah tengah, Bu Jul dan Pak Men menjadi limelight. Mereka berdua tampak serasi dengan pakaian yang mereka kenakan. Rona bahagia seakan tak pernah habis dari wajah keduanya. Sangat berbeda dengan Rilla yang terlihat murung. Setelah ia masuk untuk mengejar Nanta, ia belum menemukan keberadaan cowok itu. Rilla sudah mengelilingi tempat itu sebanyak 3 kali sampai kakinya pegal pegal, namun tak kunjung Nanta ditemukan.

My Perfect RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang