Keep voting :)
Rilla turun menuju ruang keluarga dengan baju kasualnya. Ia mencuci mukanya agar tak begitu terlihat bahwa ia baru saja menangis.
Papa dan Mamanya sedang berbincang saat Rilla tiba di ruang keluarga. Mamanya yang tadinya berbaring dengan kepala berada di pangkuan suaminya langsung duduk saat melihat Rilla berjalan menuju mereka.
"Mama sama Papa kek ABG aja."
Rilla duduk di antara Mama dan Papanya. Ia melakukan itu agar Mama dan Papanya tak bermesra mesraan di depannya.
Dengan ekspresi kesal yang dibuat buat. Mama Rilla menimpali. "Dari pada kamu, ganggu orang tua lagi mesra mesraan aja. Cari pacar sana!" Rilla yang mendengar itu mencebikkan bibirnya.
"Kalo Nanta aja ada, ngapain harus nyari." gerutunya pada diri sendiri. Tapi hal itu terdengar jelas di telinga Mamanya.
"Hah! jadi sama Nanta?!" Mamanya terperangah tak percaya. Papanya yang tadi tak menghiraukan percakapan mereka, sekarang turut ikut mendengarkan.
"Enggak! Siapa yang bilang? Orang Faye diem aja dari tadi. Mama suka ngada ngada kalo ngomong. Gak usah dengerin Pa!" alibinya, padahal Mamanya mendengar dengan sangat jelas ia mengatakannya tadi. Rilla menutupi telinga Papanya dengan kedua tangannya. Papanya tersenyum kepada Mamanya dengan tingkah kekanak kanakan Rilla.
"Oh ya, Mama tadi mau ngomong hal penting apa?" ia teringat pesan Mamanya tadi.
Mama Vela menatap Rilla dengan serius, berbeda saat mereka bercanda tadi. Suasana sekitar ikut tenang seakan mengerti betapa pentingnya hal yang akan disampaikan.
"Fay tau nenek sakit sakitan kan?" ia mengangguk karena ia tau tapi belum pernah sekalipun ia menjenguk neneknya. Rasa penasaran Rilla meningkat, kenapa Mamanya tiba tiba berbicara perihal Neneknya.
"Fay juga tau kalo Nenek tinggal sendirian selepas kepergian Kakek 2 tahun lalu kan?"
Rilla juga ingat, Kakeknya meninggal 2 tahun lalu sehingga Neneknya harus tinggal sendirian. Neneknya mempunyai 2 orang anak perempuan, Mamanya dan Tantenya, Rena. Mamanya jelas mengikuti Papanya sedangkan Tante Rena yang baru saja menikah, saat Rilla berada di awal kelas 12, mengikuti suaminya ke Bandung. Pernah Mamanya menawarkan agar Neneknya ikut tinggal bersama Rilla. Tapi bersikeras Neneknya menolak, ia lebih suka tinggal di desa daripada di kota walaupun sendirian. Neneknya hanya tinggal dengan seorang pembantu yang telah menemaninya puluhan tahun. Sejak Nenek Rilla sakit sakitan, Mamanya Rilla sering bolak balik Jakarta-Yogyakarta untuk mengurusi Neneknya.
"Mama tiba tiba bahas Nenek, memangnya Nenek kenapa Ma? Nenek baik baik aja kan?" baik baik saja dalam artian masih sakit seperti yang Rilla tau. Mukanya berubah cemas memikirkan keadaan Neneknya.
"Gak ada apa apa dengan Nenek." ucapan itu membuat Rilla menghembuskan nafas lega. Tapi ada sorot lain dari mata Mamanya yang tak Rilla pahami. Seperti sorot ... Ragu.
"Faye pernah ngerasa takut kehilangan Mama?" kata Mamanya, Rilla yang tadi sempat bernafas lega sekarang untuk bernafas saja seakan ia tak bisa. Dengan ragu ia mengangguk. Ia takut, sangat takut kehilangan Mamanya. "Mama juga takut, Sama seperti Faye yang takut kehilangan Mama, Mama juga takut kehilangan Nenek." airmata yang tak pernah Rilla temukan, mengalir melalui sudut mata Mamanya.
Atas inisiatifnya sendiri melihat airmata Mamanya tumpah, ia memeluk Mamanya.
"Mama kenapa nangis? Mama pasti keinget sama Nenek ya?"
Mamanya melepas pelukan setelah dirasa cukup. "Mama gak papa kok, cuma sedikit khawatir aja."
"Fay, boleh Mama minta persetujuan kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Jugendliteratur(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...