"Fel, gue dateng nih. Lo apa kabar? Bahagiakan pastinya. Gue kesini bareng Xio, lo pasti kangen dia. Dia udah sembuh Fel, tapi kakinya masih sakit. Lo doain ya supaya cepet sembuh kasian Xio harus pakek kursi roda."
Rilla menyeka air mata yang keluar begitu saja. Setiap kali mengingat sahabatnya yang satu ini, ia tak kuasa membendung air matanya.
Rilla, Xio dan Nanta sedang berada fi pemakaman tempat Feli dikuburkan. Mereka mengunjungi Feli karena Xio ngotot ingin kesana padahal ia baru daja keluar dari rumah sakit. Akhirnya disinilah mereka sekarang, sehabis berdoa dan membersihkan makam Feli, mereka mengobrol. Hanya Rilla yang berbicara sedangkan Nanta hanya mendengarkan. Xio tertunduk tak mengucap apapun. Dibandingakan hanya mengetahui lewat cerita Rilla, lebih pedih mengetahui sendiri kebenaran bahwa kekasihnya telah tiada.
Rilla masih terus bercerita. Ia mencurhatkan apapun isi hatinya. Mulai dari pertengkarannya dengan Aurel sampai yang ia makan tadi pagi. Dia kadang tertawa, kesal, sedih dan marah tanpa ada yang menanggapi.
Beberapa lama kemudian, Rilla berdiri ia menarik Nanta menjauh. Rilla ingin memberikan waktu untuk Xio.
Xio yang menyadarinya kemudian mendekatkan kursi rodanya. Ia menarik nafas dalam.
"Hai Fel."
Sebuah sapaan yang berat untuk diucapkan mengalun dibibir Xio.
"Gue gak tau mau ngomong apa, gue bukan Rilla yang ceplas ceplos ngomong apa yang ingin dia omongin."
"Gue cuma mau tanya kenapa lo pergi?"
"Lo udah gak sayang sama gue lagi ya? Apa lo udah bosen sama gue?"
"Gue emang bukan orang yang bisa bikin lo bahagia. Bahkan untuk ngelindungi lo aja gue gak bisa."
"Fel, kalo lo tanya apa gue bahagia? Gue bakal usahain iya, sepedih apapun rintangan gue nanti gue bakal bahagia demi lo yang berusaha bikin gue bahagia. Gue bakal bahagia seperti yang lo minta, gue bakal bahagia buat ngebales semua perjuangan yang lo lakuin ke gue."
"Makasih Fel, cinta lo ngebuat gue sadar kalo hidup cuma sekali. Gue gak akan nyianyiain hidup gue lagi."
"Satu lagi. Fel, makasih dari lo gue tau kalo cinta punya banyak warna. Gak cuma soal perasaan aja yang hitam dan putih, tapi segala aspek dalam hidup gue penuh warna lain, seperti merah dalam keberanian gue, biru dalam semangat gue, hijau dalam kepercayaan gue dan warna warna lainnya. Itu semua gue dapat dari cinta yang lo kasih ke gue."
Xio tak kuat lagi menahan airmata yang ingin keluar sedari lagi. Meluncurlah airmata Xio melewati pipinya.
"Gue pamit pulang dulu ya Fel, lain kali gue bakal mampir. Gue janji saat gue kesini, gue udah gak pakek kursi roda lagi."
Xio memegang nisan Feli lalu mengelusnya sama seperti ia mengelus rambut Feli.
Rilla dan Nanta entah sejak kapan sudah ada di belakang Xio. Nanta langsung mendekati Xio saat Xio kesulitan menggerakkan kursi rodanya.
"Thanks Nan lo udah banyak bantuin gue. Thanks juga Rill lo selalu ada di dekat gue. Gue berhutang budi sama kalian." ucap Xio saat Nanta mulai mendorong kurso rodanya.
"Gak seberapa Yo, lagian kita kan sahabat."
"Bener tuh Yo, dalam sahabat gak ada yang namanya hutang budi. Yang ada kita saling melengkapi satu sama lain. Saat lo seneng kita juga seneng, saat lo susah kita harus bantu lo agar lo seneng lagi." Rilla menambahi ucapan Nanta.
Xio tersenyum, dalam hatinya ia bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka. Mereka yang tak meninggalkannya saat ia susah tapi malah membantunya. Xio merasa beruntung memiliki mereka yang setia disampingnya dalam keadaan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Teen Fiction(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...