11.b Sebuah Rasa (revisi)

6.6K 351 1
                                    

Motor hitam Nanta sempurna memasuki pelataran rumah. Ia memarkirkan motornya ke garasi keluarga Hillary yang di penuhi berbagai macam kendaraan. Sore hari seperti ini, kadang Ratih sedang menonton TV bersama Alma sambil menunggu Reyhan pulang. Nanta membuka pintu utama rumah sambil mengucap salam.

"Wa'alaikummussalam." Jawab beberapa suara yang Nanta dengar, mungkin di rumahnya sedang ada tamu.

"NANTA PULANG!" ucapnya menggelegar seperti biasa.

Dari arah depan, seorang wanita sebayanya muncul sambil membawa segelas jeruk peras. Ia menatap Nanta dengan pandangan tak percaya.

"NANTA KAMPRET! NGAPAIN LO DISINI?"

"FAYE!! KOK LO BISA ADA DISINI!" Nanta menjawab sapaan Rilla yang entah kenapa bisa ada di rumahnya.

"Ini ada apa? Kakak, mama udah bilang kalo di rumah jangan teriak-teriak. Gak malu apa, ada tamu lagi."

Nanta menyengir, "Kalian berdua udah kenal?" tanya Ratih.

"Nggak!" jawab mereka serempak.

"Kalo gak kenal kenapa bisa tahu nama masing-masing. Udah gak usah pakek malu-malu."

Ratih tersenyum dengan maksud lain dibalik senyumannya, ia berlalu dari hadapan anak-anak muda itu. Sedangkan Nanta masih diam di tempatnya, bingung hendak pergi kemana. Ia sebenarnya tadi sudah merencanakan akan langsung tiduran di kasur empuknya setelah sampai di rumah. Namun sekarang, niatnya itu ia urungkan karena merasa tak enak harus membiarkan Rilla disini sendirian karena mamanya pasti asik berbincang dengan Ratih.

"Lo anaknya tante Ratih?" tanya Rilla memecah keheningan.

"Iya,"

"Ohh."

"Gue mau ke atas, lo kalo mau ikut gue ayok, daripada nungguin mama lo sendirian."

"Gak usah, gue disini aja."

"Udah Fay, ikut Nanta aja ke atas. Dia punya gitar tapi gak bisa maininnya." Ratih yang muncul dari arah dapur ikut menimpali ucapan Nanta. Ia memanggil Rilla dengan nama tengahnya, karena ia lebih sering mendengar anak itu dipanggil Faye daripada Rilla. "Gak usah bimbang gitu, ikut aja. Sekalian ajarin tuh anak main gitar, dari dulu kalo diajaran malah ngebantah terus sama tentornya, alhasil tiap malem tante kudu denger orang genjrengin gitar asal-asalan, dipikir yang punya telinga dia aja apa." Rilla terkikik geli mendengar penjelasan Ratih. Ia jadi teringat dengan kejadian Nanta memainkan gitarnya di Paradise beberapa hari lalu.

"Yaudah deh tan,"

"Oke," Ratih tersenyum senang. "Nanta, jangan aneh-aneh atau mama sunatin kamu!" lagi-lagi Rilla tersenyum geli mendengar ucapan Ratih.

"Iya mamaku sayang, yuk Fay."

Rilla mengikuti Nanta tepat di belakangnya. Kamar Nanta terletak di lantai dua sehingga mereka harus melewati tangga yang berkelok indah itu. Sampai di lantai atas, Nanta berjalan menuju sebuah ruangan yang terletak paling pojok. Ia membuka pintu bercat hitam itu lalu memasukinya. Rilla berhenti tepat di depan pintu dengan tulisan Nanta's room, ia sungkan untuk masuk ke kamar itu, apalagi kamar seorang laki-laki.

"Ngapain lo berdiri disana?" tanya Nanta yang baru saja meletakkan tasnya fi pojok ruangan.

"Ogah gue masuk, kamar lo gelap kek gitu."

Rilla memandangi kamar Nanta yang didominasi warna hitam dan sedikit warna putih. Dinding bercat hitam, lantai putih tertutupi karpet, kasur dengan seprai putih, selimut hitam, lemari baju putih, dan masih banyak lagi warna-warna yang serupa dari benda-benda di kamar Nanta.

My Perfect RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang