Hari pertama Rilla memasuki sekolah setelah bolos beberapa hari karena kematian Feli. Rilla berjalan lesu menuju kelasnya yang berada di pojok. Dia yang biasanya selalu membalas sapaan teman temannya sekarang berlalu bahkan sekedar senyum pun tidak.
Rilla menjejakan kakinya di ruang kelas. 2 bulan lagi ujian nasional dan dia masih bisa bolos. Sedangkan teman sekelasnya sibuk ikut bimbel dan sebagainya. Rilla terlalu sibuk memikirkan kehilangan sahabatnya sampai sampai ia tak sempat untuk sekedar baca buku.
Diedarkan pandangannya keruang kelas. Hampa, ia tak melihat ada kesenangan lagi disana. Dia berjalan lunglai menuju tempat duduknya di pojok kelas. Sudah sebulan ia duduk disana. Ia melihat bangku Feli yang kosong, hatinya tersayat perih. Ia masih sedih kehilangan Feli. Rilla menatap bangku yang diduduki Nanta, pemiliknya pasti masih asik molor di rumah, Rilla tau itu.
"Rill." salah satu temannya memanggil Rilla. Rilla lantas menoleh ke asal suara.
"Gue mewakili teman teman sekelas turut berduka cita atas meninggalnya sahabat lo." ucapnya dengan nada sedih.
"Makasih Dev." Devia mengangguk..
"Gue gak nyangka Feli pergi secepet ini, dia aslinya baik tapi emang rada jail sih. Bakal sepi banget nih kelas kagak ada dia."
Rilla hanya tersenyum mendengar ucapan Devia. Ia pun berfikir seperti itu. Tanpa Feli gak ada yang berani ngelawan guru. Ternyata se-sepi itu sekarang, dia baru merasakannya. Kemarin saat ia bersedih selalu ada Nanta disampingnya, tapi apa ya Nanta masih mau menemaninya di sekolah apalagi mereka satu kelas dengan Aurel.
Rilla mencoba fokus membaca buku ditangannya. Ia bersungguh sungguh agar mendapatkan nilai yang tinggi supaya ia bisa sekolah di universitas terbaik yang jauh dari siapapun. Ia terlalu muak disini, terlalu muak melihat wajah munafik Aurel.
Saat Rilla hanyut membaca buku, keadaan kelas yang semula riuh menjadi diam tanpa komando. Ia mendongak memastikan ada apa gerangan. Rupanya seeeorang yang dulunya amat dekat dengannya sedang berjalan memasuki kelas. Bunyi sepatu bergemeletuk menyentuh lantai terdengar sampai ditempat Rilla duduk saking sepinya. Seluruh siswa memandanginya dengan tatapan tajam menusuk. Yang dipandangi malah terlihat santai saja. Rilla geram, rahangnya mengeras tapi ia menahan emosinya. Rilla kembali berusaha fokus membaca buku namun telinga dan matanya masih saja ingin melihat apa yang terjadi.
Dengan ekor matanya, Rilla melihat Devia menghadang Aurel.
"Guys! Kalian denger berita gak kalo ada orang yang dengan egoisnya gak mau donorin darahnya padahal orang itu dianggep sahabat sama dia." ucapnya pedas.
Aurel yang mendengar itu sedikit terkejut. Ia tak menyangka teman sekelasnya tau tentang fakta yang berusaha ia tutupi.
"Minggir gak?! Gue mau lewat."
"Oh mau lewat? Tapi gue lagi mager nih pengen disini aja." Devia keukeuh pada poisisinya ia tak bergerak seinchi pun.
Aurel mengalah, ia memilih lewat disamping Devia yang kosong, tapi dengan cepat Devia mengisi tempat itu. Aurel bergeser kearah lain tapi Devia juga mengikutinya, alhasil sampai beberapa kali mereka mengulang gerakan yang sama tanpa ada yang mengalah. Devia menahan senyumnya dengan terus memperlihatkan ekspresi tajamnya. Sedangkan teman temannya malah senyum senyum di tempat duduknya.
"MAU LO APASIH?!" Aurel berteriak nyaring.
"Mau gue, akuin kelasahan lo dan minta maaf sama keluarganya Feli. Karena gue tau lo pasti belum minta maaf sama mereka."
"Siapa lo nyuruh gue minta maaf? Gue gak salah!"
"Cih, gue tau Rel, gue tau semuanya. Lo kan yang gak mau donorin darah lo padahal Rilla udah mohon mohon sama lo tapi lo malah pergi gitu aja. Saat itu Feli lagi butuh banget darah buat operasinya. Ia gagal operasi gegara gak ada stok darah. Lo yang sahabatnya malah pergi gitu aja, sahabat macam apa lo Rel??!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Teen Fiction(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...