"Kakak cantik.. bangun kakak cantik." sayup-sayup Rilla mendengar suara anak kecil membangunkannya.
"Ughhh," Rilla meleguh, ia merentangkan tangannya ke atas.
"Kakak cantik, bangun, udah pagi." Alma menarik-narik baju yang Rilla kenakan. Mau tak mau ia membuka matanya secara paksa. Hal pertama kali yang ia lihat adalah ekpresi Alma yang lucu. Ia mengernyit, menyadari ada anak kecil yang pagi-pagi sudah masuk ke kamarnya.
"Kamu adeknya siapa? Gue kan nggak punya adek." Rilla berucap dengan nyawa yang belum berkumpul penuh.
"Ihhh.. kakak cantik kok lupa sih sama Alma..!!" Alma merengek karena dilupakan oleh Rilla. Rilla sebenarnya tak bermaksud, hanya saja ia lupa apa yang telah ia lakukan ketika baru bangun dari tidur."Alma..?" Rilla mengucap kata itu untuk mengingat-ingat apakah ia mengenal orang bernama Alma. Namun baru saja ia akan bertanya, Alma malah sudah berlari ke luar kamar.
Rilla duduk di tepi kasur. Ia mengucek matanya agar tidak mengabur. Kemudian ia memandangan sekeliling kamar yang terasa asing baginya. Matanya tak melihat foto-foto yang biasanya Rilla pasang hingga memenuhi dinding kamarnya. Bukankah kamarnya bernuansa cerah dengan warna putih yang mendukung? Tapi ini malah hitam dengan kesan eksotis.
Rilla berdiri hendak mencuci muka agar kesadarannya kembali. Namun, seseorang membuka pintu kamar dengan keras hingga Rilla membatalkan niatnya. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Nanta disana.
"Lo apain adek gue sampe nangis kek gini?" ucap Nanta sambil menggendong Alma. Tatapannya tajam dan menghunus siapapun yang berani menatap balik.
Rilla yang masih kebingungan malah balik bertanya, "Kok lo ada disini sih? Mau ngapain lo?"
"Heh, sadar! Lo tidur di kamar gue!"
"Lo nyulik gue kan? Lo mau sekap gue biar gue nggak bisa masuk sekolah, kalo gue nggak masuk sekolah nilai gue bakal anjlok dan gue nggak dapet pararel 1 lagi kan?" Rilla memberondong Nanta dengan kalimatnya. "Pulangin gue! Cara lo nggak etis banget!!"
Nanta maju beberapa langkah hingga ia berada tepat di depan Rilla. Tangan kirinya yang bebas, menyentuh kening Rilla. Rilla yang merasakan tangan dingin Nanta terdiam di tempat. Jantungnya tiba-tiba memompa lebih cepat sehingga membuat getaran dag-dig-dug menggema sepanjang aliran darahnya.
"Nggak panas, mungkin butuh ke psikolog kali ya?" ucap Nanta mendiagnosis Rilla secara asal.
Rilla menyentakkan tangan Nanta yang berada di dahinya. "Apaan sih! Lagian lo ngpain pagi-pagi masuk sembarangan ke kamar orang!!"
"Kamar orang? Ngelindur ya lo? Baru bangun bukannya tambah pinter malah tambah ogeb!"
"Apa lo bilang?!"
"Noh liat.. mana ada kamar lo poster segede itu!" Rilla melihat arah tunjuk jari Nanta. Ia melihat sebuah poster band, entah band apa Rilla tak tahu. Rilla lalu menatap sekelilingnya lagi untuk kedua kali dan menyadari bahwa ini memang bukan kamarnya.
"Iya.. iya.. baru inget gue,"
"Makanya jangan asal nuduh apalagi simpulin hal-hal nggak jelas kek gitu."
"Iyaaaaaa." Kata Rilla sambil memutar bola matanya dengan malas, "Eh Alma cantik udah bangun." Sapa Rilla kepada Alma yang sedari tadi diam di gendongan Nanta.
"Kakak cantik udah inget Alma?"
"Kakak nggak mungkin lupa dong sama Alma," Rilla mencubit pipi gembul Alma dengan gemas.
Alma kemudian memberontak dari gendongan Nanta. Nanta yang kewalahan, menurunkan Alma dari gendongannya dengan hati-hati. Alma yang sudah turun langsung berhambur memeluk Rilla. Rilla membalas pelukan Alma bahkan sampai tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Alma memeluk Rilla dengan eratnya seolah mengisyaratkan agar Rilla tak melupakannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Rival
Novela Juvenil(COMPLETED - TAHAP REVISI) Bagaimana perasaanmu jika selama 3 tahun bersekolah tapi tak mendapatkan peringkat pertama, padahal kamu mampu? Kesal, itulah yang Nanta rasakan. Nanta memiliki otak cemerlang yang sayangnya masih kalah cemerlangnya diban...