"Percaya atau tidak, cara melupakan seseorang yang sudah melukai dan pergi bukan dengan cara memaksa agar tidak diingat dalam memory, namun waktu yang perlahan mengobati."
24 Mei 2009 ...
Hari minggu kali ini, Alina terjaga di kamar. Bukan hanya sekedar tiduran, namun ada sesuatu yang sedang ia kerjakan.
Sebuah sketsa rancangan gaun mewah, entah untuk apa sebenarnya sketsa itu. Yang jelas Alina tidak akan berani memakai gaun seindah rancangannya.
Gak pantes sama wajah dan bentuk badan gue.
Pukul delapan malam. Ia baru menyelsaikan rancangannya.
ia beranjak dari kursi belajarnya untuk menuju tempat tidur, namun baru saja ia akan tidur,kring.. kring.. kring..
Satu panggilan masuk.
Alina mencabut handphone yang sedang di charger.
"Siapa nih ?" Alina menatap handphonenya mencoba mengingat siapa dibalik deretan angka itu.
Dari pada terjadi sesuatu, atau mungkin ada kejahatan. Mending Alina tidak mengangkat telepon itu.
Entahlah, malas rasanya untuk mempedulikan siapa yang menghubunginya. Yang jelas kali ini ia benar-benar ingin tidur.
Alina menarik selimutnya hingga mencapai leher, dan mulai memejamkan matanya.
Handphone yang berada di meja kecil dekat tempat tidurnya bergetar. Ada sebuah pesan singkat masuk.
Alina membuka pesan itu.
'Ini Raka.. angkat!!!'
Alina mengerutkan dahinya, saat mengetahui bahwa orang dibalik deretan angka itu adalah Raka.
"Bodo ah," Ucapnya seperti berbicara pada diri sendiri.
Saat matanya akan mulai terpejam, suara dari handphonenya berbunyi lagi.
Dari nomer yang tadi lagi.
"Gue angkat apa enggak ya ? enggak aja deh," Ucap Alina sambil akan mematikan handphoenya, "Tapi kalau gak diangkat, bisa-bisa besok dia marah terus ngelabrak gue lagi, ah enggak-enggak, malu-maluin banget!"
Alina dengan ragu menggeser layar handphoenya ke sebelah kiri.
Bismillah...
"Kak Raka pasti mau nagih uang kakak di aku ya ? Ntar senin aku bayar deh, janji." Ucap Alina sedikit gemetar.
Raka mendelik, "Apaan sih, lo kira gue mapia ? enak aja"
"Ya terus kakak ngapain nelepon aku malem-malem ?"
"Gue mau..." Ucapannya terpotong. Namun terdengar suara anak perempuan dari arah handphone Alina. "Nanti gue telepon lagi Oke."
Panggilan itu terputus.
Dekat cepat Alina melanjutkan kegiatan sakralnya. Tidur nyenyak.
*****
"Apaan lagi sih Ri ?"
Riri adiknya tiba-tiba berteriak dari arah luar kamar Raka.
Raka keluar dari kamarnya, terlihat ada Riri yang sedang asik dengan novelnya dan satu perempuan di sebelahnya.
"Makan dulu Ka!" Ucap perempuan itu.
Raka mengangguk "Iya bu,"
Riri, adik satu-satunya yang Raka punya, hanya berpaut tiga tahun dari usia Raka.
Sementara perempuan itu adalah seorang ibu baik hati bernama Yuni yang selama ini sudah menjadi ibu kedua untuk Raka dan Riri. Sejak Rike ibunya meninggal satu tahun yang lalu, Yuni lah yang menemani mereka berdua."Kamu gak makan Ri ?" Tanya Raka sesaat sebelum mengambil nasi.
"Udah barusan," Jawabnya.
Terlihat , beberapa foto yang terpajang di dinding. Foto keluarga saat semua sedang baik-baik aja. Saat sebelum Armand ayahnya pergi begitu saja tanpa alasan, saat sebelum Rike meninggal, saat sebelum keadaan cerah tanpa celah.
Semua foto yang terpajang, kini tinggal kenangan, kenangan yang sulit dilupakan. Kenangan kebahagiaan, kesedihan, kesepian turus mengalir dalam ingatan.
Entahlah, harus sampai kapan semua itu berbekas, entah sampai kapan luka itu sembuh, entah sampai kapan perasaan itu hilang.
Raka masih menyimpannya, menyimpan bagaimana ia masih mengingat keadaan saat Armand pergi begitu saja dengan kakak perempuannya bernama Rena, tanpa mempedulikan keadaan Rike yang sedang rapuh dan lemah, Raka masih menyimpan ingatan bagaimana Riri dan dirinya terpukul saat tahu bahwa Tuhan telah memisahkan mereka berdua dengan ibu kesayangannya bernama Rike, Raka masih mengingat bagaimana Riri sangat kehilangan kasih sayang Rike yang biasanya selalu mereka rasakan setiap hari.
Ibu Peri, panggilan yang selalu mereka sebut pada Yuni, karena Yuni mereka berdua bisa bertahan hidup sampai sekarang. Yuni adalah malaikat bagi mereka, seorang Ibu Panti yang sudah mereka kenal sejak kecil.
Dulu Rike dan Yuni adalah teman dekat, sangat dekat. Bahkan Rike selalu menyisihkan uangan bulanannya untuk biaya makan anak-anak panti.Seperti itulah, Yuni merasa berhutang budi kepada Rike. Dengan menjaga buah hati Rike lah cara Yuni membalas semua kebaikan yang Rike beri kepadanya dahulu.
"Bang, ajarin Riri ngelukis dong!" Ucap Riri yang baru saja melihat satu sketsa di dalam novelnya.
Raka mendelik, "Hah ? kamu gak lagi demam kan ?"
Raka yang baru selesai makan menghampiri Riri yang masih nyaman dengan posisi duduknya.
"Kenapa ?" Tanya Riri.
"Kamu emang gak tahu Ri ?" Kata Yuni "Raka ngegambar ayam kayak di mangkuk mie baso aja jadinya kayak sapu injuk." Sambung Yuni sambil tertawa.
Raka nyengir "Abang bisa kok ngegambar, cuma hasilnya selalu kayak sapu injuk."
Yuni tertawa, Riri juga.
Terkadang, becandaan tak seberapa seperti itu merupakan obat paling manjur untuk menyembuhkan luka dihati yang tergores beberapa kali.
"Ntar Abang cari guru lukis buat ngajarin kamu." Ucap Raka.
"Yeay, makasih bang." Jawab Riri gembira.
Raka kembali ke kamar dan meninggalkan Riri dan Yuni di ruang keluarga.
Ia kembali menghubungi Alina kembali, namun yang menjawab hanya suara perempuan yang memberi tahu bahwa nomer yang dituju tidak dapat dihubungi.
Kali ini, jarinya kembali menari diatas tombol abjad, mencoba menulis pesan singkat untuk Alina.
"Gue mau ketemu! Besok temui gue!"
~~~~~
Hallo genks, maaf ya telat banget kepost bagian ini. Karena sibuk ujian disekolah.
Semoga kalian suka yaaa😊ig : ingri.riana

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Teen Fiction"Kamu akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidupku, bahkan setelah kamu pergi dan mungkin takkan pernah kembali." "Dan aku selalu minta sama Tuhan agar kirim malaikat untuk menjaga kamu sampai Tuhan mempertemukan kita nanti." Alina, gadis polos...