Prolog : Awal Segalanya

93 10 2
                                    

Selasa. 18 Januari.

Setiap hari berlalu normal. Sebagaimana dari data peluang hasil studi seorang peneliti, hari yang abnormal adalah saat di dalamnya tak terdapat peristiwa abnormal sekalipun. Dihitung dari banyaknya detik dan relasinya dengan rentet rantai rangkaian kejadian.

"Maksudku, tiap macam pilihan perlakuan terhadap stimulasi Indra, akan menghasilkan akhir yang berbeda-beda, kan?" ujarku pelan seraya membaca ketikan surat di hadapanku.

Aku mencoba sebiasa mungkin, menuliskan ungkapan rasa teraneh itu. Karena pikirku, mungkin itu hanya keanehan lain yang menjadi komposisi 'hari normal'. Atau paling tidak anak-pinak dari perkawanan yang terjalin tanpa skenario tersendiri.

Kursor di layar komputer terus berkedip, menyadarkanku, memaksa tahu bahwa waktu terus berlalu. Bermacam ketertinggalan sudah memenuhi wadah, tak ada ruang lagi untuk keterlaluan. Sekali lautan larutan rasa itu tumpah—bukannya tertuang dengan hati-hati—maka sia-sia benar kombinasi kasus skenario yang telah dikandung.

"Tuhan.. aku sungguh berharap surat ini mampu memecahkan masalah. Paling tidak yang mengganjal dalam hati. Yang tak kasat mata, butuh bukti nyata, bukan permainan semata.." pintaku seraya menutup mata, namun saat kubuka kembali. Tetap saja hitam. 

"Dika! Tuh kan mati listrik. Sudah dari tadi disuruh matikan komputer.. sekarang cabut kabelnya!" teriak ibu kos dari lantai bawah.

Selain malu setengah mati, aku menyesal menjadi-jadi. "Aduuh, naskahnya belum disimpan lagi," sekian ketombe rontok karena garuk-garuk kepala.

***

Untung saja masih banyak bait yang kuingat betul. Sebelum lupa—dan sebelum aku mengecek file autosave di komputer nanti kalau emosi ibu kos kian padam—aku menuliskannya di binder. Pada selembar kertas berwarna kuning pucat tanpa motif.

Benar saja, banyak coretan dan perbaikan. Sudah tak bentuk surat lagi. Ada.. beberapa hal yang kurasa terlalu besar untuk kunyatakan. Banyaknya penyesalan, kebodohan, dan kegilaan yang terjadi. Aku takut waktunya tidak tepat, malah bakal mendapat respon darimu yang terlalu membuat hati gelisah.

Karena tetap, ingin menjalani dengan cara yang selumrah mungkin, aku sampai tanya ke teman-teman dekatmu.

"Mm.. bagus." ujar Bella singkat.

"Duh, yang lebih jelas dong.. Kira-kira gimana reaksi dia, bakal suka nggak, apa kek."

"Gimana ya. Dia tuh emang orangnya cuek. Bisa aja dia cuma baca pas waktu luang, sambil nyemil terus nonton film. Nggak ada fokus-fokusnya."

"Ih kamu kok gitu sih. Terus aku harus gimana..?"

Bella nyengir. "Ya coba aja disesuain sama kasus terburuk tadi. Hahaha."

Betul juga perkataan teman dekatmu itu. Aku, juga tak sampai hati kalau misalnya memintamu langsung membaca surat itu di depanku. Ah, memangnya aku sendiri bakal berani. Berarti intinya kuserahkan saja, terserah mau dibaca dimana.

"Selama ini, bermacam kode yang aku arahkan juga jarang sekali sampai. Seringkali dia bingung sendiri maksudku apa." ujarku pada diri sendiri, mengingatkan yang dulu-dulu. 

Pada saat memang sebatas gombalan saja. Bukan gumpalan rasa yang terus menggunung seperti sekarang..

Kombinasi kata-kata ke kalimat pun kusederhanakan. Tak banyak kata-kata tersirat yang puitis. Yang penting apa yang ingin disampaikan terbaca jelas olehmu.

***

Rabu. 19 Januari.

Keesokan harinya aku merasa siap. Setelah melanjutkan apa yang tersimpan di komputer, lalu merevisi habis-habisan. Kemudian dicetak pada kertas berwarna dengan rapi. Bahkan di pagi hari saat mandi, aku keramas dua kali, coba babat ketombe yang sering buat gatal.

Maka di balik almamater—yang lebih keliatan seperti jas—surat itu kutaruh. Dibawa kemana-mana bersiap kapan saja jika bertemu.

Pagi sekali, waktu biasanya aku sudah sampai di sekolah. Masih sepi, waktu favoritku untuk menikmati sekian hal sendirian. Pada saat tertentu itu, selalu ada nilai baru yang tampak dari pandangan yang di lewati sehari-hari.

Embun yang masih hinggap di tetumbuhan. Daun yang lambat jatuh dari pohon. Matahari yang malu-malu mengintip dari celah-celah atap. Aku yang menyendiri di dalam kelas, duduk ditimpa cercah cahayanya, memerhatikan semua dengan seksama.

..Pada waktu terelok itu pula, pandanganku padamu yang pertama.

Entah kenapa kau datang sepagi itu dahulu, namun hampir tak pernah lagi. Mungkin karena pas adanya acara tertentu di organisasi yang kamu ikuti. Aku kurang tahu. Karena yang kutahu hari itu.. adalah senyummu yang buat terpukau, langkahmu yang tegap ke depan, dan aura semangatmu yang kuat sekali. Hingga menembus jendela dan dinding kelasku.

"Alangkah inginnya aku mencantumkan rasa itu dalam surat ini. Tapi yang terjadi, hanya terus tertanam di hati.. dan lembaran kusut di atas meja belajar."

Hening cukup lama, akhirnya diwakilkan detak detik jam dinding.

"Tak apalah. Aku sudah sampai sejauh ini. Tak akan menyesal saja tanpa melakukan sesuatu. Sekecil apapun.."

***

Bel pulang sudah berbunyi. Alangkah luputnya aku. Masih tetap belum menyerahkannya. Sungguh hari yang terasa lama sekali. Tak lain karena satu tujuan yang tertunda terus.

Tetapi ternyata saat keluar dari gerbang sekolah, kamu dan Bella tampak sedang membeli jajan di seberang jalan. Sepertinya bakso bakar, atau mungkin pempek. Aku tak begitu tahu. Yang mau kutahu, hanya secepatnya menyerahkan surat ini.

Tapi... Tapi. Satu-satunya yang kutahu, hanya.
Suara mengagetkan itu.
Sahaja.

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang