Bab 11

16.1K 706 3
                                    

Dua bulan telah berlalu sejak wanita itu menangis diruangannya, bahkan semua masalah tentang wanita itu mulai mereda perlahan-lahan. Tak ada lagi pingsan akibat parfum atau apapun itu, karena ia tidak lagi se-sensitif dua bulan lalu. Iya, akhirnya wanita itu tidak lagi mengidam dan bisa bernafas lega.

Tak ada lagi acara menghindar, ketakutan dan sebagainya sebab wanita itu mulai membuka diri. Ia tidak mau lagi ada yang disembunyikan tentang dirinya. Perkataan sang Mama ada benarnya juga, bukan hal mudah bagi orang baru untuk bisa menjadi terlihat baik kalau ia tidak memperlihatkan siapa dirinya.

Kata-kata itu terus terngiang di benaknya, saat ia menceritakan semua masalahnya. Tetapi, sejak ia mengikuti saran sang Mama hal itu mulai terbukti dan wanita itu cukup bersyukur. Setidaknya apa yang ia takutkan selama ini itu tidak terbukti dan nyatanya semua baik-baik aja.

Seperti saat ini, wanita itu tengah mengelus perutnya yang besar. Rasa sayang ia curahkan pada calon bayi yang dikandungnya. Merasa bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu seutuhnya. Kehadiran sang buah hati itu akan sangat menyenangkan dan terasa lengkap. Iya kalau ada laki-laki itu bersamanya. Apalagi orang tuanya yang sangat mengelu-elukan bayi itu. Mungkin, dengan kehadirannya hidup wanita itu akan berubah. Ya, semoga itu benar.

"La! Ya'ampun lagi bengong ternyata, eh senyum-senyum lagi. La?"

Wanita itu adalah Lula. Ia mengerjap berkali-kali mencoba kembalikan keadaannya. Laptop yang menyala membuat ia teringat kembali akan pekerjaannya yang tertunda. Sakit dipinggangnya membuat ia lupa akan keadaan disekitar hingga ia terjun kedunia hayalan.

Disampingnya seorang wanita menepuk pelan tangannya yang masih saling bertautan dengan sebelah tangannya lagi. Lula mendongak dan terkejut. Ia sama sekali tidak sadar akan kehadiran wanita itu.

"Kaget ya, La? Maaf, ganggu acara bengong kamu. Mbak cuma mau tawarin, mau makan siang bareng gak?"

Mata Lula langsung tertuju pada jam tangan yang dikenakannya membuat matanya membuka lebar seakan tak percaya.

"Kok udah jam makan siang aja sih, mbak? Perasaan tadi baru jam sebelas deh." gerutu Lula.

Wanita yang dipanggil mbak itu tertawa. "Saking fokusnya bengong sampai lupa jam. Lula ini aneh-aneh aja. Mau makan bareng? Kebetulan hari ini ada traktiran dari big boss. Lumayan kan hemat uang."

Lula semakin bingung. Traktiran? Memangnya siapa yang ulang tahun? "Traktiran apa, mbak? Oh iya aku masih ada kerjaan, jadinya enggak makan siang. Jam dua harus udah aku kasih ke pak Reno soalnya."

"Tinggalin dulu aja. Ayok, kamu jangan mikirin diri sendiri. Ada calon anak kamu juga yang butuh asupan!!"

Ah ya!! Lula lupa akan itu. Ia terkekeh lalu mengangguk. Anita--wanita itu tersenyum melihatnya, Lula sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Bahkan jauh sebelum itu saat pertama kali lihat Lula, Anita merasa bahwa ia sangat ingin menjaganya.

Apalagi saat melihatnya rapuh saja, Anita sendiri merasa sangat sedih. Anita kembali tersenyum, tak perlu alasan mengapa Tuhan menempatkan dirinya untuk menjadi seorang yang ada jika Lula butuh seorang teman yang bisa diajaknya berkeluh kesah.

Tapi, kenapa Tuhan memilihnya? Bukankah Anita tidak pantas untuk menjadi seorang teman Lula? Lula wanita baik-baik, dan tidak seperti Anita yang merupakan wanita...Tidak! Itu dulu.

Mereka berdua turun untuk menuju Resto yang sudah ditunjuk untuk menjadi tempat traktiran kali ini. Kebetulan Resto itu tidak jauh dari tempat dua wanita itu bekerja, mereka berniat berjalan kaki saja. Anita tampak berhati-hati karena ia menggunakan high heels dan sedikit saja Anita lupa, sudah di pastikan kakinya akan menjadi ancaman untuk tidak bisa jalan selama beberapa hari.

The Best MommyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang