10

58.8K 5.1K 155
                                    

10

Kadang aku bingung mengapa berada di sini.

Padahal aku tak melakukan apapun. Aku hanya berada di apartemenmu. Menunggumu pulang. Aku merasa tidak berguna. Atau bahkan hanya membebanimu saja.

Mungkin sebaiknya aku tetap menjadi boneka. Melihat semuanya dari bingkai kecil mata mainan. Melihat bagaimana orang saling berinteraksi tanpa peduli padaku. Melihat penjaga kasir mengunci pintu tokonya, membiarkanku sendirian.

Aku gemetar membayangkan hal itu terjadi padaku lagi.

Lalu jika tak mau menjadi boneka, aku harus apa?

Aku melangkahkan kaki menuju pintu utama apartemenmu. Lama aku menimbang. Hingga satu keyakinan membuatku membuka pintu dan keluar dari zona nyaman.

Rasanya seperti hidup kembali. Tanpa ada yang menjaga, aku berjalan sendiri. Tanpa harus khawatir, aku menentukan pilihan ini.

Begitu keluar apartemen, aku langsung merasa kedinginan. Kudongakkan kepala. Butiran-butiran putih yang terasa dingin di kulit berjatuhan ke tanah. Kau sering menyebutnya salju.

Senyumku mengembang.

Salju yang cantik.

Aku mengitari daerah sekitar apartemenmu. Banyak orang menyapaku dengan senyum hangat. Samar kudengar mereka menyebutku sebagai pacarmu.

Hahaha, aku malu walau tak mengerti maksudnya.

Setelah lama berkeliling aku memutuskan untuk duduk di taman yang berhadapan dengan apartemenmu. Taman ini sangat nyaman. Indah dan sunyi. Aku bisa berlama-lama di sini tanpa bosan.

Meong.

Kelopak mataku yang tadinya tertutup kini terbuka seiring suara "meong" terdengar riuh. Aku berjalan mencari asal suara. Kudongakkan kepala saat melihat seekor kucing berada di dahan pohon yang tinggi.

Tanpa berpikir lama aku mencoba memanjat pohon itu. Menyelamatkan makhluk hidup sudah seharusnya dilakukan manusia 'kan? Ya, aku manusia sekarang. Bukan boneka lagi.

Aku gagal.

Aku jatuh.

Aku mencoba lagi.

Namun tetap gagal.

"Butuh bantuan?" seseorang menepuk bahuku.

Aku menoleh ke belakang. Seseorang dengan rambut hitam dan wajah ramah menatapku. Cepat-cepat aku menulis di papan, lalu menunjukkan padanya.

Kucing. Di atas. Tidak bisa turun.

Orang itu tersenyum paham. Dia lalu memanjat pohon itu dengan lengan kuatnya. Seolah ini hanya perkara mudah, orang itu kembali ke hadapanku dengan menggendong kucing tersebut.

"Kau tahu? Perempuan dapat melakukan apapun sendirian. Namun laki-laki sejati tidak akan membiarkannya," ucap orang itu dengan nada melucu. Kedua tangannya memberikan kucing tersebut ke hadapanku. "Ini. Kucingmu."

Dahiku merengut kala menerima kucing itu. Aku menulis di papan dengan satu tangan.

Memangnya perempuan dan laki-laki apa bedanya?

Orang itu menatapku bingung.

"Kau tak tahu?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Well," dia tampak ragu sesaat. "Oke, aku akan memberitahumu."

Dia mengajakku duduk di bangku taman. Aku masih menggendong kucing itu saat dia mulai menjelaskan.

"Jadi, perempuan dan laki-laki banyak bedanya. Perempuan memakai perasaan, laki-laki memakai logika," ucapnya pelan-pelan.

Aku mengangguk meski tak mengerti perasaan dan logika.

"Kulit perempuan halus. Laki-laki tidak. Perempuan berambut panjang. Laki-laki tidak. Perempuan cantik. Laki-laki tidak," tukasnya.

Dengan penasaran aku menulis di papan lagi.

Lalu aku ini perempuan atau laki-laki?

Dia membaca deretan kata yang kutunjukkan. Tawanya meledak setelah itu. Aku masih menatapnya bingung. Memang ada hal lucu apa?

"Kau tidak pernah bercermin?" dia bertanya masih dengan sisa tawa.

Aku menggeleng.

"Oke, pantas kau tak tahu," ucapnya maklum.

Suasana hening kala dia berhenti tertawa.

"Kau tahu, kau perempuan tercantik yang pernah kutemui di kota ini," matanya menatapku hangat. "Sampai jumpa."

Lalu dia menepuk puncak kepalaku sebelum berdiri dan berbalik. Dia meninggalkanku sendirian. Membuatku bingung akan kata-katanya tadi.

Aku cantik?

Tunggu--cantik itu apa?

*

a.n

makin ke sini tampilan wattpad makin bagus, aku makin cinta (read: aku makin kecanduan)

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang