13
Aku takut.
Baru saja aku bermimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk hingga semuanya terasa samar. Yang aku ingat hanyalah tawa melengking perempuan juga tangisku. Semua rasa takut ini membuatku cepat-cepat beranjak dari sofa dan mengetuk pintu kamarmu. Tanganku bahkan gemetar saat mengetuk pintu itu.
Kamu, dengan wajah setengah mengantuk, melihatku. "Kenapa, Angel?" tanyamu panik mendapati air mata menggenang di mataku.
Aku menggeleng takut sembari memeluk diri sendiri. Aku tidak bisa berbicara. Tidak bisa juga menjelaskannya padamu. Jika kujelaskan, kau tak akan mengerti.
"Kubuatkan teh hangat?" kau mengambil mantel tidurmu, memakainya, lalu menghelaku ke mini bar.
Aku duduk, masih dengan memeluk diri sendiri, bibirku bergetar hebat, bahkan meski samar, bayang-bayang mimpi itu masih menghantuiku. Aku ingat suara perempuan itu. Dia sangat jahat. Seolah semua peran antagonis dalam cerita rakyat yang sering kau bicarakan ada pada perempuan itu.
"Kau mimpi buruk?" tanyamu seraya menyodorkan secangkir teh hangat.
Kuanggukan kepalaku pelan. Tanganku masih gemetar kala menangkup dinding cangkir. Rasa hangat yang ada pada cangkir mengalir melalui kulitku, perasaanku membaik. Bibirku tidak bergetar dan perasaanku tenang. Kau tersenyum melihat perubahan ekspresiku.
"Merasa lebih baik?" tanyamu.
Kau ini lucu, dari tadi selalu bertanya.
Mataku menatap mata indahmu, lalu mengangguk sambil tersenyum kecil. Kau mengacak rambutku sayang. "Begitu dong. Kau lebih cantik saat tersenyum, Angel."
Bahkan, sifat menggoda andalanmu makin meningkat.
Aku berdiri, melalui isyarat mata, aku memintamu menunggu. Kau mengangguk mengerti. Setelah itu, aku kembali padamu dengan membawa papanku yang biasa dan mulai menulis.
Aku mimpi buruk. Ada perempuan yang tertawa. Aku takut.
Tawanya membuatku takut.
Kau membaca tulisan yang kusodorkan, dahimu berkerut sebentar, lalu kembali normal. Kau menatapku khawatir.
"Apa dia ada hubungannya dengan ... er ... masa lalumu?" kau bertanya ragu.
Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Aku tidak tahu.
Aku kembali menulis di papan.
Yang jelas, sekarang aku takut.
"Mau kunyanyikan lullaby?" tawarmu dengan mata bersinar. "Dulu, aku sering pergi ke panti asuhan dan menyanyikan lullaby untuk anak-anak di sana, ajaibnya, tidak sampai semenit, mereka sudah tertidur lelap. Karena sekarang sibuk, aku jarang ke sana. Namun, jika ada kesempatan, aku akan mengajakmu ke panti asuhan itu. Aku berteman baik dengan anak kecil bernama Delilah, dia salah satu anak yang dititipkan di panti itu."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya menyenangkan. Aku tidak sabar jika kau benar-benar membawaku ke sana. Pasti banyak sekali anak kecil berlalu-lalang, tertawa-tawa bersama teman-temannya. Aku suka anak kecil.
Kau menghelaku kembali, kali ini bukan ke sofa, tapi ke kamarmu. Begitu melihat mataku takut, kau berkata, dengan penuh antisipasi.
"Aku tidur di sofa," ucapmu penuh penekanan. "Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di sofa."
Dengan cepat aku menggeleng. Dari dulu, aku tidak mau membebanimu. Aku tahu rasanya tidur di sofa. Punggungku sakit. Apalagi kakiku terantuk bahu sofa. Tinggiku sejajar dengan bahumu, sedangkan jika aku tidur di sofa, lututku harus menekuk, bagaimana denganmu?
"Lalu, maumu apa?" tanyamu, agak jengkel.
Aku melirik sofa.
"Tidak, Angel," bantahmu.
Aku lagi-lagi melirik sofa itu.
"Tidak."
Untuk yang terakhir kali, kulihat sofa itu dengan wajah pasrah.
Kau, menghela nafas. Dengan tegas, kau mendorongku masuk ke dalam kamar. Suasananya gelap. Jadi kau menyalakan lampu tidur. Mata elangmu lagi-lagi tampak di bawah sinar lampu.
"Kau, tidur di bagian kanan. Aku, tidur di bagian kiri. Kita dibatasi guling. Aku tahu kau merasa membebaniku, padahal tidak. Tapi aku tidak mau punggungmu sakit karena tidur di sofa selama lebih dari sebulan. Kau mengerti?" ucapmu panjang lebar.
Kali ini bukan rasa was-was di hatiku, tapi jantungku berdebar.
Kencang sekali.
Aku tidak bergerak sama sekali. Seakan tak acuh, kau mulai menarik selimut dan tidur di bagian kiri. Aku melihat punggungmu dengan nanar. Kenapa sekarang aku merasa tidak dipedulikan?
♪
Alunan suara indah keluar dari mulutmu, begitu tenang dan syahdu. Kau, bahkan dalam posisi tidur seperti itu, bisa mengeluarkan harmoni yang belum pernah kudengar. Meski aku tidak tahu lagu siapa yang kau nyanyikan, namun aku merasa mengantuk. Kau benar.
Keajaiban adalah saat kau menyanyikan lullaby.
Aku bergerak, perlahan merebahkan diri di bagian kanan. Kita saling membelakangi. Namun bagiku, hal ini cukup. Karena menurutku, kau benar-benar peduli dan melindungiku meski aku tidak pernah melakukan apapun untukmu.
♪
Mataku bergerak menutup perlahan-lahan, bersiap kembali ke alam mimpi.
Dan aku tahu, mimpiku kali ini berbeda sangat jauh dengan mimpi sebelumnya.
Samar tapi pasti, aku merasakan pergerakan dari arah kiri. Kubuka mataku sedikit. Kau sedang berdiri, menatapku sebentar, lalu keluar dari kamar seraya menutup pintu dengan suara amat pelan.
Kau, bandel sekali.
Pasti kau akan tidur di sofa karena menghargaiku sebagai perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yours
Teen FictionKau tahu ketika aku beranjak tidur yang terakhir kali kupikirkan siapa? Kamu. Kau tahu ketika aku bangun dari tidur yang pertama kali kuingat siapa? Kamu. Namun aku tahu kau sama sekali tidak mengingat atau memikirkanku. Mengapa? Karena aku hanya ba...