16

45K 4.7K 146
                                    

16

Wanita itu terus menarik tanganku, hingga kakiku terantuk-antuk jalan. Aku bingung harus melakukan apa, yang kuingat jelas, apa yang kulakukan ini salah. Aku harus kembali padamu.

Sebelum aku sempat berontak dari wanita yang mengaku sebagai Ibuku—aku tidak tahu arti Ibu, omong-omong—, seseorang melepas tarikan Ibuku.

Kutolehkan kepala, ternyata kamu.

Darahku berdesir, entah kenapa. Kau selalu membuatku merasakannya. Sesuatu yang baru. Yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya selama menjadi boneka tua di toko kelontong ujung jalan. Kau selalu, dan seterusnya, membuatku seperti ini.

"Jangan kasar padanya, Madam," ucapmu dingin sekaligus penuh tekanan pada intonasimu.

Mata Ibuku membesar, dia menggertakkan giginya marah. Sepersekian detik setelah itu aku tak pernah menduganya. Ibuku menamparmu di pipi dengan sangat keras, membuat beberapa pejalan kaki melihat kami bingung sekaligus ngeri. Aku menjerit tanpa suara, menangkapmu yang terhuyung ke samping dan memelukmu.

Kutatap marah Ibuku.

"Kenapa KAU menamparnya?!" tanyaku, meraung marah. Ibuku tampak terkejut mendengar suaraku yang menggelegar. "Jangan ganggu dia!!"

"Tapi, Analise—"

"Kalau kau Ibuku, kau tidak mungkin menampar temanku!!"

"Tapi—"

"Dan bahkan aku tidak mengenalmu sama sekali!!"

Dengan sekali sentak, aku membopongmu menjauh dari wanita itu. Wanita itu begitu terkejut, dia berdiri seperti patung, tapi aku tak peduli. Dia bukan Ibuku. Jika dia Ibuku, dia tidak melakukan hal kejam padamu. Jika dia Ibuku, dia tidak menarikku tanpa menjelaskan yang terjadi sebenarnya.

Bukan, dia bukan Ibuku.

Aku takut. Tamparan itu sangat keras di wajahmu. Kau bahkan sampai tidak sadarkan diri.

Aku takut.

Kalau kau tak ada,

aku bersama siapa?

Kurebahkan kamu di salah satu bangku taman. Dengan tangan gemetar, aku menepuk pipimu pelan.

"Peter, bangun ...," bisikku, beberapa orang menatapku iba, tapi aku tak peduli. "Peter ...."

Kelopak matamu perlahan terbuka. Pupilmu langsung menatapku, tegas dan fokus. Aku mengusap pipimu, sedetik kemudian, air mata yang bergumul di pipiku langsung berjatuhan. Aku takut, hingga nyaris kupikir aku mati.

Terkejut, kau langsung duduk tegak dan memeluk leherku. "Hey, kenapa?" tanyamu.

Aku menggeleng, tergagap. "Kupikir ... kupikir kau mati. Tiba-tiba kau ditampar oleh orang asing lalu pingsan. Aku takut tidak melihat matamu menatapku lagi. Aku takut jika ini hari terakhir aku bisa mendengar suaramu. Aku takut—"

Tubuhmu menegang.

"Angel ...," kau melepas pelukan kita, menatapku terkejut.

Kuusap air mataku, "Ya?"

"Kamu ... suaramu ...."

Aku ikut tersadar seraya mengatupkan kedua tangan di bibirku. Suaraku! Aku bersuara. Aku tak perlu papan tempat biasa aku menulis sesuatu. Aku bisa menyuarakannya secara lantang.

Sedetik wajahmu terkejut, detik kemudian tersapu dengan wajah bahagia. Kau menyentuh kedua pipiku dengan tanganmu seraya tertawa kecil, tawa yang menenangkan.

"Suaramu, suara paling indah yang pernah kudengar, Angel," katamu.

Aku tak akan pernah lupa perkataanmu hari ini.

-

a.n

oke gue tau si Angel/Analise di sini lebay banget

kalo gak ada Peter, yaudah si hidup ndiri aja

tapi coba lo posisiin jadi boneka, polos—bahkan gak tau cantik itu apaan—, suka—tapi gak nyadar—sama manusia dan cuma tinggal berdua sama cogan, pasti ... panik. gue kalo jadi Angel langsung panik. Peter itu semacem jalan menuju rumah, makan dan tempat tidur empuk. HAHAHAHA

OH YA SI ANGEL/ANALISE SUARANYA KELUAR!!

DAN THANKSS TEENFICTION #4!!!

goodnight!

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang