17

45.8K 4.4K 40
                                    

17

Aku menuntunmu duduk di sofa. Kau duduk, sedikit meringis, tapi tetap tersenyum. Sekilas, aku melihatmu cemas.

“Kuambil air hangat, oke?” tawarku.

Kau mengangguk.

Cepat-cepat, aku ke dapur. Bibirku bergetar kala mempersiapkan bak, air hangat, dan handuk. Entah kenapa, aku merasa takut. Suaraku telah keluar. Seharusnya aku senang. Tapi, kenapa aku malah ....

“Angel!”

Saking lamanya melamun, aku tidak sadar volume air di bak meluap. Sebuah tangan yang kutahu milikmu memutar kran air, sehingga kucurannya berhenti. Kamu menatapku bingung, aku menunduk. Kuambil bak menuju ruang santai, menaruhnya di meja. Kamu mengikuti langkahku, tapi matamu masih bersinar penasaran.

“Kenapa?” tanyamu kala aku mengusap pipi lebammu dengan handuk hangat.

Aku meneguk ludah.

“Aku tahu kau tidak baik-baik saja,” matamu melirikku sebelum melihat ke arah lain. “Bilang saja.”

“Tidak, uhm,” aku menghela napas kecil. “Tidak apa.”

“Serius?”

“Ya.”

“Aku baru tahu kau bisa bohong,” kau tertawa kecil sembari mengacak rambutku. Membuat aktivitas mengusap pipimu sedikit terganggu.

“Aku-Tidak-Bohong,” ucapku, cemberut.

“Ya, kau bohong.”

“Tidak.”

“Ya.”

“Tidak!”

“Ya Ya Ya Ya Ya!”

“Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak!”

“Oh, ayolah,” matamu memelas, persis seperti anak anjing. “Aku -Tahu-Kau-Bohong.”

Aku mengatupkan bibir, hingga hanya membetuk satu garis tipis. Aku sama sekali tidak ingin memberitahumu. Nanti kau berpikir aku berlebihan. Lagipula, mungkin, nanti aku lupa keresahanku. Entahlah.

“Kalau kau tidak mau membaginya, ya sudah,” kau menjulurkan lidahmu, menahan tanganku mengusap pipi lebammu, dan berdiri. “Aku mau tidur.”

“Tidur saja.”

“Temenin.”

Melihat mukaku yang terkejut setengah mati, kau tertawa terbahak-bahak. Kau melempar salah satu bantal sofa. Tepat, terkena mukaku. “Kau-Harus-Lihat-Ekspresimu-Tadi!”

“PETER!” aku berteriak, untuk yang pertama kalinya.

“Duh, aku—pft,” kau tidak bisa menahan tawamu lagi.

Seketika itu juga, seantero ruangan ini dipenuhi gelak tawamu. Aku awalnya terdiam. Lalu, aku ikut tertawa denganmu. Rasanya menyenangkan. Ini pertama kalinya aku tertawa. Dengan suara. Seharusnya aku bersyukur. Suaraku kembali.

Meski aku hanya boneka, aku ... seharusnya bersyukur.

Ya.

Bersyukur.

“Coba, lihat langit, deh,” kau menarik tanganku untuk berdiri, menuntunku melihat langit malam. Kau menunjuk salah satu bintang yang paling terang. “Lihat? Kita bisa menggapainya.”

Ibu jari dan telunjukmu nyaris bersentuhan, di antaranya, terdapat titik kecil yang sangat terang. Kau benar. Kau menggapainya.

Kau seolah menggapainya.

Aku tersenyum padamu. “Peter, kau benar-benar menggapainya.”

Menggapaiku.

 -

a.n

haiii wii sori banget lama lanjutin cerita ini padahal pendek banget HAHAHA kadang bingung aja ngerangkai kata-katanya :') 

gue janji, next chap bakal lebih panjang. ini cuma pemanasan doang, soalnya udah lama gak nulis kayak gini. jadi jangan protes kawan (pose memohon) 

makasih yang masih kerasan sama gue dan masih mau baca cerita iniii<3

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang