6. Pulau Elf (2)

3.7K 302 1
                                    

        Aurora dan Leon berjalan memasuki istana yang sangat indah itu ditemani Elf putih itu, ternyata Elf itu bernama Zoka dan yang lebih mengejutkan lagi, ia berusia hampir tujuh ratus tahun lamanya.

      "Yang mulia Mordu, hamba membawa dua manusia yang tersesat di ladang gandum milik Tuan Vallen," ucap Zoka pada penguasa sementara, Mordu.

   "Tersesat?Atau mereka adalah pencuri?" Tanya Mordu sinis. KREK! Ia lalu menurunkan empat buah jeruji besar yang berisi para kru kapal bajak laut Kapten Leon.

    "Tolong kami! Kapten!" Seru mereka, ternyata para kru kapal dikurung di jeruji besi tersebut.

      Leon langsung murka, ia sudah diambang kemarahan. Para Elf itu mengurung anak buahnya di sana dan tanpa sepengetahuan Leon sebagai kapten mereka.

     "Kau! Brengsek!" Leon mencengkram leher Zoka. "Lepaskan mereka sekarang juga!"

      BRUKKK!!! Leon terlempar jauh hingga menabrak sebuah pilar hingga akhirnya retak, Zoka mendorong Leon begitu keras hingga si kapten itu meringis kesakitan.

     Kemudian, Leon bangkit walaupun hidungnya berdarah akibat benturan yang keras dari dorongan yang Zoka lakukan padanya. Ia berjalan perlahan menuju singgasana yang diduduki Mordu, ia kemudian berlutut di hadapan Mordu dan memohon.

       "Aku bisa saja melawanmu,tapi pertarungan seperti ini tidak akan membuat masalahku selesai, jadi.. lepaskan saja mereka, aku tak mau mereka terluka, kau boleh menyiksaku sebagai gantinya,Yang Mulia," Leon berlutut, ia sebenarnya tidak takut dengan Mordu, tapi jika ia melawan Zoka itu hanya akan membuat posisi anak buahnya dalam bahaya.

     "Hmm? Aku tidak suka cara kasar sebenarnya, tapi baiklah, kau harus menuruti semua perintahku besok dan sekarang kau harus bermalam di menara paling atas," Ujarnya.

    "APA?!! DASAR BEDEBAH!" Leon menghampiri singgasananya dan hendak meninju wajah sang penguasa sementara, tapi para penjaga langsung menghalanginya.

     "Wow.., lihat tikus kecil pemberontak ini!" Mordu terkekeh-kekeh melihat Leon yang benar-benar ingin menghajarnya.

     "DIAM KAU, BRENGSEK!" Kedua tangan Leon langsung diborgol oleh penjaga istana.

      "Siapa yang brengsek disini?! Kau! Baiklah, mau tidak mau kau harus mengikuti perintahku, tikus kecil!"

      "Diam kau! Jangan sekali-sekali menyakitu kru kapal ku!"  Leon memberi peringatan pada Mordu.

      "Penjaga! Bawa mereka berdua ke menara atas! "

      Sangkar jeruji besi lebih baik daripada di menara atas yang menyeramkan, menara atas adalah penjara khusus untuk penjahat kelas kakap dimana tak ada ventilasi udara dan tak ada satupun cahaya terang yang menerangi kecuali dari celah atap.

     Tangga untuk menaikinya saja ada lebih dari ratusan anak tangga untuk menuju puncak menara atas yang gelap dan mereka hanya diberi sebuah lilin untuk menerangi ruangan tersebut, banyak tikus berlarian kesana kemari untuk mencari makan.

      Sebuah ruangan di menara paling atas menjadi tempat kurungan bagi mereka, Leon sudah putus asa lagi untuk mencari harta Karun Azkaba dalam waktu beberapa minggu lagi.

     "Kapten...," Panggil Aurora, ia lalu melihat pria disampingnya yang sedang putus asa. Ia tak menjawab sepatah kata satupun.

    "Kapten Leon, " Aurora berusaha untuk menghilangkan kesedihannya,namun sepertinya ia tak mau bicara. "Aku akan memberitahumu petanya," perkataan Aurora membuat Leon mendongak ke arahnya.

    "Apa aku harus menghilangkan kutukanmu terlebih dahulu?" Tanya Leon tanpa menoleh pada Aurora,ia benar-benar putus asa. Ini semua karena Lebron! Kalau saja pria itu tak mengancamnya, ia tak akan terjebak di pulau ini, pikir Leon.

     "Lupakan tentang kutukanku, yang paling penting kau harus mendapatkan harta karun Azkaba terlebih dahulu," Aurora lalu membuka pakaiannya, ia menghadap ke arah tembok sehingga Leon tak melihat seluruh tubuhnya, hanya punggungnya saja yang terlihat.

       "Apa yang kau lakukan,duyung?" Pipi Leon memerah karena Aurora tiba-tiba memperlihatkan punggungnya. Ia memalingkan pandangannya ke arah lain, ia tidak pernah melihat hal sevulgar ini.

     "Sementara aku fokus pada diriku, kau harus mencatat peta itu,"

      Leon mencari alat tulis di sekelilingnya, yang ada disana hanyalah secarik kertas bekas milik tahanan sebelumnya dan sebuah tinta yang memang disiapkan jikalau para tahanan ingin menulis surat bagi keluarga mereka.

    "Kau harus mencatatnya, Kapten,"

    "Baiklah, aku siap," Ujar Leon kemudian.

     Aurora berdiam diri beberapa saat, lalu tiba-tiba punggungnya bercahaya biru menggambarkan peta menuju Harta Karun Azkaba, beberapa pulau tergambarkan di punggungnya.

    Dengan sigap, Leon menggambar seadanya saja di kertas yang ia temukan di bawah ranjang tahanan menara atas. Ia lalu menggambar sama persis dengan apa yang ada di punggung Aurora tersebut.

     Perlahan-lahan cahaya di punggung Aurora memudar dan peta itu tak terlihat lagi, untungnya Leon sudah menggambar semua jalan di peta untuk mencari harta Karun Azkaba.

     Aurora lalu memakai lagi pakaian yang menutupi tubuhnya itu,ia kemudian membenarkan rambutnya yang acak-acakan.

      "Kapten, kenapa harus Azkaba?" Tanya Aurora sambil membenarkan kemejanya.

     "Duyung, harta karun ini harus aku berikan pada Lebron! Kalau tidak, ia akan menghancurkan desa Chronus dan ibuku akan tinggal dimana?Lalu bagaimana dengan seluruh anak buahku? Mereka berasal dari desa Chronus," Jelas Leon sambil menggulung kertas itu.

      "Apa itu rumah?" Aurora bertanya dengan polosnya.

     "Rumah... adalah tempat dimana kau berasal, merasakan cinta dan kebahagiaan," Jawab Leon asal, padahal ia sebenarnya mengutip kata-kata yang selalu diucapkan Lucy dari sebuah novel kesukaannya.

    "Kalau begitu...aku tak punya rumah selama ini, aku selalu merasa kesepian di laut walaupun banyak duyung disana," Ucap Aurora dengan nada sedih, Leon langsung menoleh.

    "Kau kan bisa berteman dengan mereka, kau juga bisa mencintai pangeran...duyung, mungkin? Jika ada,Hahaha.." Kekeh Leon, ia tertawa membayangkan seorang laki-laki dengan sirip duyung.

   "Kami adalah kaum yang tidak pernah berkelompok, kami berenang kesana kemari sendirian dan kami hanya berkumpul di malam purnama di bebatuan karang hanya untuk sekedar merindukan seseorang," Ujar Aurora, matanya menerawang ke atas langit-langit menara.

     "Dramatis sekali!" Ejek Leon.

     "Kami hanya berusaha mengingat masa-masa lalu bersama orang yang kami sayangi, walaupun sampai sekarang aku tak pernah merindukan seseorang dan mengingat siapa diriku sebenarnya," Nada suara Aurora berubah menjadi sendu.

    "Mungkin kau ingat orangtuamu?" Leon menebak-nebak.

    "Apa itu orangtua?"

    "Dua orang yang melahirkanmu ke dunia dan menyayangimu," Leon mendelik kesal karena ketidaktahuan Aurora.

     "Aku tak tahu, yang kuingat, aku jatuh dari tebing dan aku tak tahu kenapa aku terjun dari atas sana," Aurora berusaha mengingat-ingat walau ia tak mengingatnya.

    "Mungkin kau terpeleset," Ucap Leon cepat sambil membuka peta yang ia salin.

    "Entahlah, sepertinya aku melakukannya dengan sengaja,"

    "Bodoh," Leon tertawa sambil mengacak-acak rambut Aurora dan Aurora kesal karena rambut yang ia tata kembali berantakan. "Ternyata kau lebih bodoh dari perkiraanku, duyung,"

Vomment ya :)
Thx buat yang baca :)
Love u readers!

Aurora (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang