Sang Papa marah besar. Kedua manik matanya menatap putranya berang. Hatinya ditutupi oleh emosi yang meluap. Ditambah dengan ekspresi sang anak yang terlalu santai. Seolah-olah tak pernah berbuat kesalahan besar.
"Berani-beraninya kamu Aldefian!" Amukan itu disusul dengan pukulan keras yang mendarat mulus di pipi Aldefian sehingga membuatnya terhuyung ke belakang. Kehilangan keseimbang untuk kembali berdiri tegap.
Aldefian mengusap hidungnya sambil melihat tetesan cairan merah berjatuhan di lantai. Membuat kepalanya berdenyit nyeri. Jika sedang brutal, Papa bisa melakukan apapun untuk melampiaskan amarahnya.
Dengan segala upaya Aldefian bangkit. Menatap sayu pria yang berdiri tepat di hadapannya. Dipukuli dan dipermalukan di depan anak-anak santri seolah belum bisa memenuhi hastrat kemarahan yang meledak di dalam diri, Aldref, sang Papa.
Meski dalam hati Aldefian berteriak gelisah, namun sebisanya ia tampilkan hal sebaliknya. Dengan segenap kekuatan, Aldefian menjawab, "aku mau pulang Pa. Ini kan rumah aku juga."
"Apa yang kamu sebut rumah?! Kamu seharusnya masih dipesantren sampai 2 tahun kedepan! Kamu dikeluarkan dari pesantren, dan itu sudah membuat Papa malu!" Aldref meninggikan nada suaranya. Tampak jelas kilatan amarah yang telah membutakan mata hatinya.
"Papa masukin aku ke pesantren buat apa sih? Kalau buat agamaku makin bagus dan supaya aku masuk surga, Papa sama Mama jangan harap deh aku bakalan bawa ke surga juga. Tapi kalau buat aku supaya gak tinggal di rumah lagi, itu percuma. Toh ini juga kan rumah aku."
"Aldefian Fransisco!"
Teriakan dari Aldref membuat Aldevian berbalik. Kepalan tangan dari dua pria itu bergetar. Menahan amarah yang sewaktu-waktu bisa ia lontarkan melalui sepasang kepalan itu.
Sebelum benar-benar menjauh pergi dari hadapan Aldref, Aldefian kembali menatap Papanya. Setitik amarah dan tatapan beku itu beradu satu saat Aldefian berkata, "maaf Pa kalau aku datangnya mendadak dan gak diharapkan." Lelaki jangkung itu mengulas senyuman. Senyuman perih yang sudah lama ingin ia tunjukkan pada Papanya, namun sering ia urungkan karena waktu bersinggungan yang sangat jarang.
Usai mengucapkan kalimat itu, Aldefian lalu mengambil satu langkahnya, memilih untuk kembali menjauh dari tempat Aldref berdiri sembari menyeret koper.
Eksistensinya di rumah ini sudah lama tenggelam oleh kesedihan mendalam yang mengakibatkan keretakan. Dari dulu, ada atau tidaknya seorang Aldefian bukanlah masalah penting yang harus menjadi prioritas utama keluarga Fransisco.
Sudah hampir setahun lebih Aldefian dikirim oleh Mama dan Papa ke pesantren yang berada di Bogor. Alasannya klasik; agar Aldefian bisa mempermantap ilmu agamanya. Namun firasat Aldefian, alasan mati itu cuma akal-akalan saja. Karena kehadirannya sama sekali tak penting di rumah ini.
Pernah sewaktu-waktu, Aldefian kecil tak sengaja menjatuhkan piring di dapur. Dan dengan spontan Mama menyebut Aldefian sebagai sumber masalah yang menimpa keluarga mereka.
Ia terlalu payah. Sampai sekarang Aldefian tak bisa menjembatani kembali hubungan kedua orang tuanya yang nyaris terputus.
Aldefian ... hanya seorang anak gagal yang bukan berarti apa-apa bagi kedua orang tuanya.
***
"Alex!"
Aldefian menoleh. Mengangkat sebelah alisnya, mendengar nama panggilannya diserukan oleh seorang gadis yang berlari ke arahnya.
Dia, Analia menghampirinya dengan selembar kertas di genggaman.
Seraya mengangkat kedua alis dilengkapi senyuman tipis, Aldefian bertanya, "ngapain lo ngejar-ngejar gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...