03. Special Sunday

7.6K 571 50
                                    

"Berapa uang yang kamu butuhkan? Om Brian baru kirim uang ke rekening aku."

Senyuman seketika pudar dari bibir Analia. Yang ia sisakan hanyalah tatapan aneh yang ia tujukan pada kakaknya. Namun sepersekian detik kemudian senyuman kecut bergantian menghiasi bibirnya.

Namanya Arnold Andries. Si sulung dari keluarga Andries. Kelahiran mereka berdua berjarak 4 tahun.

Sebelum menemui ajal, ayah telah meninggalkan perusahaan yang dirintis olehnya selama bertahun-tahun kepada Arnold lewat surat wasiat yang sudah jauh-jauh hari ia siapkan jika sewaktu-waktu sesuatu yang buruk terjadi.

Kini, perusahaan itu dijalankan oleh sang paman, sebelum Arnold benar-benar dewasa dan mampu menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Dan sekarang, usia dari pewaris perusahaan tersebut telah menginjak usia 20 tahun.

Arnold kemudian menyerahkan sebuah kertas berbentuk persegi panjang yang baru ia keluarkan dari kantung jaket dan segera memberikannya pada Analia.

"Cek lagi?" Analia menatap kedua bola mata itu tepat sasaran kemudian kembali menyambung, "apa gak bisa, kita tinggal kayak keluarga seperti dulu lagi?"

"Sayangnya itu cuma angan," pangkas Arnold dingin. "Seandainya kamu bukan adikku, mungkin keadaannya akan jauh lebih baik." Arnold tertawa sinis.

Bibir Analia mendadak bergetar, kembali menelan pil pahit yang selalu berusaha dihindarinya. "Itu takdir."

Arnold menaruh cek itu di atas meja ruang tamu karena tak kunjung menerima uluran tangan untuk menerimanya. "Maaf. Itu salah aku, karena sudah punya rasa menjijikkan seperti ini." Arnold mengulas senyuman simpul. Terkesan sarkas. Lalu mengambil langkah lebarnya menjauhi kediaman Analia.

Menyisakan sebuah keheningan malam yang menyelaraskan langkah dengan kesedihan para penikmatnya.

***

Petikan gitar itu terngiang jelas di pendengaran Analia. Terus saja mengusilinya untuk segera beranjak bangun dari tidur dan menengok kepada seseorang yang memainkan gitar disaat malam sudah menginjak pukul 23:00.

Analia tahu kok, malam ini adalah malam Minggu. Malamnya para pemuda-pemudi menghabiskan waktu bersama pasangan mereka masing-masing. Sedangkan yang tidak punya, kebanyakan memilih untuk mendekap guling di dalam kamar.

Namun setidaknya, Analia yang masih, ekhem ... single, tidak ingin mengganggu para tetangga dengan membuat keributan malam-malam begini seperti yang dilakukan si pemain gitar itu.

Dengan bermalas-malasan, Analia beringsut dari selimut dan berjalan menuju balkon, dimana sumber suara itu berasal.

Ia bahkan belum sempat mengucek mata ataupun mencuci wajah. Tak heran saja jika kelopak matanya seperti melekat erat sehingga terlalu sulit lagi untuk membukanya lebar-lebar.

"Woy, kalau main gitar itu kenal waktu dong!" bentak Analia setelah sampai di balkon, dan merasa yakin sedang berbicara pada si pemain gitar itu.

Lagi-lagi dia adalah orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Aldefian?

Cowok itu langsung berdiri. Menaruh gitar dan menatap pada gadis si penegur yang baru saja menguap di hadapannya.

Seulas senyuman kembali hadir menghiasi wajah Aldefian mengetahui siapa gadis itu.

"Eh, ada tetangga yang masih muka bantal. Hehe." Aldefian menampilkan cengirannya.

Mendengar ucapan itu, Analia spontan membuka kedua matanya lebar. Menangkap sosok jelas yang kini tengah tersenyum padanya. Selang beberapa detik kemudian wajah Analia langsung berubah datar. "Bisa diem gak sih? Ganggu tau gak!"

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang