Sebenarnya Aldefian sangat mengantuk. Ingin rasanya ia kembali ke atas tempat tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Namun, ada-ada saja hal yang membuat rencana tersebut kandas.
Contohnya saja sekarang. Saat jam di dinding mulai menunjukkan pukul 02:00 dini hari, tiba-tiba saja tenggorokan Aldefian terasa kering, membuatnya terpaksa bangun seraya berjalan gontai ke dapur untuk mengambil segelas air putih.
Sambil menggosok matanya, ia menuangkan air ke dalam gelas saat telah tiba di dapur.
Disaat Aldefian tengah meminum air putih, tak sengaja ia melirik sang Mama yang berjalan mendekatinya.
Rupanya sang Mama bermaksud sama dengan Aldefian. Mama juga hendak menghilangkan dahaga yang menyerang tenggorokan dengan meminum segelas air putih dari dapur
Aldefian dan Mama berada dalam jarak kurang dari satu meter. Mereka sangat dekat kini. Bahkan bahu mereka berdua sempat bersinggungan. Tapi, tak ada satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara.
Sesekali Aldefian curi-curi pandang. Melirik Mama yang berada tepat di sebelahnya. Andai saja hubungannya dengan Mama terjalin dengan baik, ingin rasanya Aldefian memeluk Mama dan mengatakan, betapa rindunya ia pada Mama yang telah bekerja seharian bahkan pada waktu libur sekalipun.
Tetapi hal itu hanya sebuah harapan saja.
Wajah Mama tampak lelah akibat bekerja. Terlihat dari kantung mata menghitam yang menggantung di bawah mata wanita bernama Delina itu.
Sengaja Aldefian meminum airnya irit-irit, agar berada sedikit lebih lama di dekat Mama.
Wanita itu tetap saja terlihat begitu anggun. Wajahnya tetap tampak cantik. Hampir tak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya sedikit kerutan saja yang menandakan usia Delina.
"Gak bisa tidur?" Pertanyaan Delina membuat Aldefian terbatuk. Sudah lama Aldefian tak mendengar suara Mama.
Tiba-tiba saja cowok bertubuh jangkung itu tergagap. Ia hanya mampu mengangguk sekenanya sambil tersenyum kikuk.
Padahal hanya pertanyaan itu sangat singkat dan berisi tiga kata saja. Namun hal itu mampu membuat Aldefian senang bukan main.
Delina mengangguk-angguk. Aldefian kira sang Mama akan mengatainya lagi dengan sebutan anak pembawa sial lalu meliriknya dengan sarkas. Namun yang dilakukan Mama membuat Aldefian makin tercengang.
Meski hanya ditepuk sekali di bagian pundak, hati Aldefian rasanya sudah ingin terbang, apalagi sebelum benar-benar berlalu, Mama berkata, "jangan terlalu lama tidurnya. Besok kamu sekolah."
Aldefian tersenyum senang. Ada apa dengan Mama hari ini?
Apa mungkin Mama mulai memaafkan kesalahannya sebagai pembawa kesialan di rumah ini?
Ataukah, Mama hanya sekedar basa-basi saja, karena telah lelah bersikap dingin dengannya?
Atau mungkin ... Mama ada alasan lain?
Hal itu sama sekali tak penting, yang terpenting bagi Aldefian kini, ia merasa sangat senang.
***
"Sebenarnya mau lo apa sih?!" Analia berujar marah. Membalikkan badan spontan saat merasa rambutnya dipegang-pegang oleh seseorang. Sengaja suaranya diturunkan agar tidak di tegur oleh guru Sejarah yang saat ini sedang mengajar dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar.
Dan lagi-lagi pelakunya itu adalah orang yang sama; Aldefian Fransisco, yang kini tengah tersenyum kalem.
Cowok itu sengaja menggusur si Fera, salah satu teman sekelas mereka yang memiliki tubuh gempal yang duduk tepat di belakang Analia dengan sogokan dua mangkuk mi ayam di kantin nanti saat jam istirahat. Hanya untuk bisa diizinkan duduk tepat di belakang Analia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...