Hari Rabu pagi. Analia memasuki kelasnya. Hanya ada beberapa temannya yang sudah datang. Sebagian saling bercengkerama, sisanya sedang asik memainkan ponsel.
Analia duduk di tempat duduknya. Mengingat kembali pertemuan kemarin sore dengan Aldefian selepas pulang sekolah.
"An," cowok itu memanggil namanya waktu itu. Menghampiri Analia dengan senyuman. Analia balas tersenyum. Kemudian mereka berdua berjalan menuju motor milik Aldefian yang terparkir untuk pergi ke suatu tempat bersama-sama. Aldefian menyodorkan helm untuk Analia, dan semenit kemudian mereka meninggalkan parkiran sekolah.
Sore itu mereka ingin berbicara. Analia tahu, ia sudah bereaksi berlebihan sebelumnya saat di bioskop waktu itu, tapi ... ia sama sekali tidak bisa menjaga sikapnya setelah mengetahui hal tersebut. Analia hanya bertindak spontan dan otomatis.
Sesampainya di depan sebuah kafe, Analia turun dari motor Aldefian. Menyerahkan helm dan memasuki kafe bersama cowok itu. Mereka sama-sama memesan minuman, lalu duduk disalah satu kursi yang kosong.
"Sorry. Minggu kemarin itu gue ... udah berlebihan," ucap Analia to the point.
Mencerna sejenak, Aldefian kemudian menggaruk tengkuknya sambil mengulas senyuman canggung. "Yah, nggak pa-pa, An. Lagian kabar itu emang tiba-tiba banget."
Analia tersenyum hambar. "Iya. Itu tiba-tiba banget," ulangnya lagi. "Kabarin gue ya, kalau lo udah mau pergi."
Aldefian mengangguk. "Lagipula, masih lama juga, An."
Pesanan mereka kemudian datang dengan diantarkan oleh seorang pelayan kafe. Setelah pelayan itu pergi, Analia kembali menyambung, "Def, kita ... masih pacaran 'kan?"
Aldefian meninggikan alis. Bingung dengan pertanyaan Analia. "Iyalah, An. Lo kenapa nanya kayak gitu?"
Ingatan Analia terhenti disitu. Ia kemudian melirik jam mungil di pergelangan tangannya. Pukul enam lewat lima puluh lima pagi. Analia masih terdiam. Memorinya masih mengingat jelas kejadian kemarin sore.
Saat itu di kafe, Analia hanya menggelengkan kepala sebagai balasan, dan menjawab tidak apa-apa.
Pikirnya, diam ialah jawaban yang terbaik.
Analia termenung. Menopang dagunya dengan tatapan datar. Temannya, Gita, belum juga datang. Aldefian juga belum menampakkan batang hidungnya.
Menunggu tiga menit, sosok bertubuh jangkung kemudian memasuki kelas. Itu Aldefian. Ketika mata Analia dan Aldefian saling bertemu, cowok itu langsung tersenyum. Segera berjalan mendekati Analia lalu membuka obrolan, "udah datang dari tadi?"
Analia menggeleng. "Baru beberapa menit yang lalu."
"Udah sarapan?"
"Belum."
"Kalau gitu kita ke kantin, yuk." Aldefian lantas menarik tangan Analia dan berjalan bersama menuju kantin.
Analia tersenyum kecil. Ini adalah Aldefian. Bodoh sekali kalau ia sampai meragukannya. Karena Aldefian ... tidak akan pernah berubah, kan?
***
Masuk ke dalam apartemen, Aldefian langsung disuguhkan oleh bau hangus dan asap tipis dari dapur. Cowok itu membulatkan matanya. Pikiran yang tidak-tidak seketika bergumul di dalam otak. Segera ia berlari. "Mama?!" panggil Aldefian mulai panik.
Haruskah ia panggil pemadam kebakaran? Walaupun asapnya tipis, bisa jadi asap ini akan menyebabkan kebakaran besar nantinya. Namun yang terpenting saat ini ialah di mana keberadaan Delina, sang Mama.
Jantung Aldefian hampir saja lepas jika tidak melihat Mamanya keluar dari arah dapur dengan wajah berkerut hebat. Ada noda hitam di pipinya. Sedikit terbatuk, Delina menatap putranya. "Ada apa?"
"Mama ngapain? Mama nggak apa-apa?" Aldefian mendekat. Memperhatikan Mamanya dari ujung kepala sampai kaki, memastikan tidak ada yang terluka sama sekali.
"Mama baik-baik aja. Memangnya kenapa? Mama cuman lagi ..." kalimat Delina terputus. Ia beralih memandang dapurnya sebentar kemudian melanjutkan, "... memasak sesuatu."
Aldefian menengok keadaan dapur. Memang biasanya, Aldefian dan Mama hanya makan diluar secara terpisah. Tidak pernah makan bersama di rumah, apalagi terpikirkan untuk memasak. Maka, ketika salah satu dari mereka memasak, tidak disangka-sangka bahwa dapur akan tampak seperti laboratorium yang nyaris terbakar seperti sekarang ini.
Delina menghela napas berat. Ia menggeleng-geleng. "Nggak usah dipikirin, kita makan di luar aja. Biar Mama yang beresin ini. Kamu siap-siap sana."
Aldefian berkedip dua kali. Berusaha memahami perkataan Mama. Barusan, ia diajak makan bersama oleh Mamanya? Benar Mamanya yang mengajak?
Dan benar saja. Usai Aldefian mengganti baju sekolahnya dan keluar kamar, Delina juga sudah siap dengan dapur yang sudah setengahnya bersih seperti semula.
Perjalanan di dalam mobil dihabiskan dengan keheningan di menit pertama. Namun, menit berikutnya Aldefian berkata, "Ma, sore tadi aku ke makamnya Alex."
Raut Delina tetap datar. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Buat apa?"
"Pamitan. Mumpung aku bisa sekarang, nggak usah ditunda-tunda lagi. Takutnya nanti ... Aldef nggak sempat."
Delina mengangguk mengerti. Sebuah senyuman pahit terukir di bibirnya. "Gimana?"
"Alex? Dia pasti baik-baik aja di sana. Aku juga udah berdoa untuk dia." Senyuman tipis mengembang di bibir Aldefian. Delina yang mendengar jawaban itu mengangguk sekali.
"Sepertinya Mama juga udah harus jenguk Alex lagi. Sebelum kita pergi dari kota ini."
***
Ini part terakhir sebelum epilog, ya.
Silakan di vote dan komen. Makasih~
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...