Agustus itu, Delina harus menerima kenyataan pahit yang terus saja menyapanya bertubi-tubi.
Pria yang sangat ia cintai telah meninggalkannya akibat kecelakaan yang merenggut nyawa ayah dari anak yang dikandungnya kini.
Sedih? Itu pasti. Ia juga merasa sangat malu untuk keluar rumah, dan enggan untuk bertemu orang luar. Delina lebih memilih untuk mengurung diri di kamar seharian.
Namun kini, ia tak punya pilihan lain lagi. Keluarga yang memaksanya untuk melawan segala prinsip yang tanpa sadar ia bangun sendiri dalam kesedihannya yang mendalam.
Delina kembali menghela napasnya panjang. Mengalihkan pandangan dari jalanan luar kafe yang basah pada pria berkemeja putih polos di hadapannya. Ia berdehem sebentar agar pria itu kembali tersadar akan tujuan pertemuan mereka.
Aldref mengusap pangkal hidungnya sekilas lalu menatap wajah Delina lamat-lamat. "Saya nggak masalah ngakuin anak orang lain sebagai anak saya. Lagian ini semua hanya demi warisan 'kan?"
Wanita itu berusaha mengukir senyuman kaku lalu mengangguk. "Mama sama Papa juga belum tahu masalah ini."
Aldref tersenyum senang. Pria dengan dandanan formal itu menjentikkan jarinya. "Bagus. Selagi kamu nggak masalah sama status pernikahan, saya juga nggak bakalan keberatan soal anak kamu." Pria itu kemudian mengangkat tangannya, mengajak Delina untuk bersalaman. "Kalau harta warisannya sudah saya dapat, kita bakalan segera cerai. Terima kasih atas kerja samanya." Jeda lima detik. "Oh iya." Aldref kembali mengulas sebuah senyuman tipis yang membuat wajahnya yang tampak angkuh terlihat sedikit manis. "Jangan lupa minum cokelat panasnya. Saya tau kamu pasti suka cokelat panas 'kan?" Aldref kemudian menunjuk secangkir cokelat panas di hadapan Delina dengan dagunya.
Wanita itu mengernyit bingung. "Darimana kamu tau kalau saya suka cokelat panas?"
"Cuman nebak aja."
Singkat namun melekat. Percakapan di kafe itu tanpa sadar, menjadi cikal bakal penyilangan hati bagi kedua insan yang sama angkuhnya ini.
***
"Ini pertemuan terakhir kita menjelang ulangan. Semoga ulangan kalian sukses dan tak mengecewakan." Pak Purwoto, guru Biologi dengan rambut setengah plontos dan beruban itu mengusap kedua ujung kepalanya, di kanan dan kiri. Seakan-akan rambutnya masih tumbuh di daerah itu lalu melangkah keluar dari kelas XI MIPA 4.
Aldefian merenggangkan badannya dan menguap lebar setelah kepergian Pak Purwoto yang baru saja menjelaskan materi ulangan secara mendasar.
"Gila. Pak Pororo itu gak tanggung-tanggung kalo ngasi kita materi. Dasar pinguin ambeien!" Geri mendengus kesal seraya mendumel dari kursi depan. Di belakang sana, Aldefian tertawa geli mendengar omelan Geri.
Sambil menepuk pundak kiri Geri, ia berkata, "sabar Ger. Gue juga rasa-rasanya mau kubur dia idup-idup di kutub utara."
Perasaan senasib antara Aldefian dan Geri membuat kedua lelaki itu tersenyum gila dengan sedikit unsur psikopat walau akhirnya terlihat konyol.
Usai itu, Aldefian menghampiri Analia dan Gita yang baru saja ingin keluar dari kelas. Menghadang mereka berdua tepat di depan pintu. "Mau kemana? Masih ada pelajaran."
Gita menampilkan air muka tak suka. Ia berdecak sebal. "Pindah gih. Ganggu aja lo!"
Aldefian mengernyitkan keningnya hingga dagunyapun ikut berkerut lantaran kebingungan. Bukan karena jawaban Gita yang ketus dan terkesan seperti mengusirnya, tapi karena melihat raut wajah Analia yang sedikit pucat seraya memegangi perutnya.
Cowok itu mencondongkan tubuhnya agar dapat melihat wajah Analia dengan jelas. "Lo sakit An?"
"Makanya lo minggir. Gue mau bawa dia ke UKS, Alex!" Gita berusaha sekuat tenaga untuk mendorong tubuh Aldefian agar mundur. Namun tubuh lelaki itu hampir tak bergerak sedikitpun karena dorongan Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...