"Gimana sama Alex? Eh? Apa sekarang gue panggil Aldefian, yah? Apa lo masih saling tukar kabar sama dia?" Suara Gita di ujung sana membuat senyuman yang tadi terukir di bibir Analia meredup. Tergantikan senyuman kecut.
"Nggak tau, Git."
"Lah, kok nggak tau?"
Ada jeda lima detik sebelum Analia menyahut, "masih kirim kabar, sih. Tapi ... gitu."
"Gitu gimana, An?" nada suara Gita terdengar gemas.
Analia menimbang-nimbang sejenak kalimat apa yang akan ia ucapkan sebagai jawaban. Ia kemudian memilih mendaratkan tubuh di atas kasur sembari menjawab, "gue takut."
"Takut?"
"Hmm. Takut, kalau nanti kita ketemu, hati kita gak sama kayak dulu."
"Tapi ini Aldefian loh, An. Dia gak mungkin kayak gitu," Gita berusaha meyakinkan.
Analia tertawa hambar. "Gue bukan cuma takut kalau Aldefian yang hatinya berubah. Gue juga takut ... kalau hati gue nggak bakal sama lagi. Gue ragu, perasaan gue sekarang terasa gantung. Bisa jadi pas kita ketemu nanti, gue ... udah nggak punya rasa buat dia yang udah jaga hati selama ini. Makanya Git, gue takut."
Gita, sahabat Analia, tahu bahwa Analia tidak akan bisa melihat wajahnya sekarang. Namun secara spontan, Gita tersenyum. "Yang gue liat nggak kayak gitu, An. Yang gue tau, lo cuma bingung, mau naruh kenangan lo sama si Aldefian ini di memori, atau masa kini. Sedangkan lo hampir gak sadar, kalau lo masih nunggu dia."
*****
Apa ini sudah selesai?
Tentu saja tidak. Semua hal yang berakhir akan memulai suatu hal yang baru lagi.
Analia juga berpikir seperti itu. Saat ia mengantar kepergian Aldefian di bandara, ia berpura-pura baik-baik saja. Mengatakan hati-hati dan tetap saling berkirim kabar.
Satu bulan pertama mereka jalani dengan lancar. Tentu saja. Status long distance relationship begitu melekat pada mereka berdua. Hanya via video call dan pesan. Walaupun tak bisa saling menyentuh, Aldefian dan Analia merasa sudah lebih dari cukup. Mereka bahagia, walau sangat rindu.
Tiba pada enam bulan berikutnya. Komunikasi mulai menyingkat. Sudah jarang. Hanya kadang-kadang, itu pun kalau sempat. Meski sempat pun, kadang Analia urung. Takut ia akan menganggu Aldefian. Aneh memang, ketika yang dulunya sangat dekat sampai tidak memikirkan apa-apa jika ingin saling berkomunikasi, kini menjadi lebih berpikir. Terasa seperti orang asing.
Benar saja, jelang sidang skripsi pun, Analia bahkan tidak ingat lagi, kapan terakhir kali mereka berdua saling bertanya kabar masing-masing. Hanya sekadar menjadi penonton story dan penyimak postingan media sosial saja. Apakah ini normal untuk pasangan yang masih dalam status pacaran?
Jarak berperan sangat penting untuk mendekatkan ataupun menjauhkan hati seseorang. Itu benar, dan kini Analia semakin menyadarinya. Umurnya yang makin dewasa, ia menjadi lebih realistis. Lebih berpikir ke depan untuk memilah hubungan. Ia memilih untuk fokus mencari pekerjaan yang tepat dulu untuknya.
Lantas, hari ini terlintas sejenak pertanyaan di pikiran Analia mengenai sosok Aldefian. Apakah benar ia masih akan mengenali Aldefian jika suatu saat mereka saling bersua lagi? Ah, tidak. Bagaimana kalau mereka tidak akan bisa bertemu lagi?
Secara tidak langsung hubungan mereka sudah berakhir kan? Apalagi yang ia harapkan?
Sekarang, Aldefian dan masa remajanya sudah hampir siap untuk disimpan sebagai bagian dari memori masa lalu. Persis seperti yang ia perkirakan saat berbincang via telepon dengan Gita waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...