Tolong!
Analia berseru kuat-kuat dalam hati. Tungkai kakinya berusaha ia langkahkan dengan secepat mungkin tanpa harus menanam perhatian berlebih pada orang lain yang berada di koridor juga.
Telah susah payah ia menghindar dari jangkauan cowok usil yang tempo hari lalu menceritakan tentang kehidupannya usai dari kafe. Tapi, sekarang Analia harus kembali merasa panik setengah mati saat hal yang berusaha ia hindari kini tengah berjalan cepat di belakangnya. Lebih tepatnya sedang mengejar dirinya.
"An! Tunggu gue!" Dan sekarang, hal yang berusaha ia hindari tak hanya sekedar mengejarnya, melainkan berteriak memanggil namanya juga.
Gadis itu tak lagi perduli! Ia memilih untuk berlari dengan sekuat tenaga hingga akhirnya suara yang meneriakkan namanya itu teredam oleh jarak.
Menyempatkan diri menoleh ke belakang, Analia menghentikan langkah. Merasa lega saat sosok itu tak lagi terlihat dalam jangkauan pandangnya. Mengatur napas sebentar, Analia tersenyum puas. Ia kemudian kembali berbalik ke depan, memilih untuk segera meninggalkan lingkungan sekolah secepatnya.
"Anjir!"
Jantungnya kembali melompat nyaris keluar ketika melihat sosok itu tiba-tiba saja berada di hadapannya. Tersenyum manis dengan tampang tenang yang justru membuat Analia paranoid sekaligus malu sendri.
"Tau kok, anggota OSIS lagi sibuk buat acara perpisahan kelas 12. Tapi lo ngapain sih lari-lari gitu? Buru-buru amat. Lagian gue kan cuma mau ngobrol. Ini juga udah jam pulang kali. Hehehe." Aldefian--sosok yang Analia hindari--menyengir lebar. Memandang Analia yang kehabisan ekspresi. Apalagi yang bisa dilakukan si bungsu Andries saat kakaknya dengan bloon mengatakan perasaan adiknya pada orang sama yang ia sukai.
"Ya, mana kakak tahu kalau Alex sama Aldefian itu orang yang sama. Lagian kan bagus kalau dia udah tahu perasaan kamu, jadi kalian nggak usah butuh waktu lama buat jadian."
Kumpulan kalimat terbodoh yang pernah dan pertama kali keluar dari seorang manusia nyaris sempurna seperti seorang Arnold Andries semalam membuat Analia mendidih kepanasan, namun tak mampu berkutik juga. Lagipula dia mau mengomel seperti apa lagi? Toh, semuanya sudah terlanjur.
"Woy! Diam aja. Dari tadi gue ajak bicara, lo denger gak?" Aldefian membuyarkan lamunan Analia. Gadis itu melirik Aldef sebentar lalu kembali membuang muka. Tak ingin merasa lebih malu lagi.
Aldefian yang melihat hal tersebut, hanya mampu tergelak perlahan. Kedua telapak tangannya segera menangkup wajah Analia sehingga gadis yang membuang muka tadi berhadapan langsung dengan cowok dengan senyuman jail.
Perlahan, Analia merasakan wajahnya--terlebih pipi--kian memanas. Merasakan sentuhan telapak tangan besar nan hangat milik Aldefian membuat hati dan jantungnya kehilangan kendali. Terlebih saat senyuman timbul di sudut bibir cowok itu. Analia ingin hilang dari bumi saja rasanya.
"Nggak usah malu sama perasaan lo. Nanti gue tambah sayang, gimana dong? Lo emangnya mau tanggung jawab?" Aldefian melepaskan tangkupannya pada wajah Analia diiringi dengan senyuman hangat nan bersahaja yang mengisyaratkan kata; tidak apa-apa.
"Pulang bareng yuk. Kita naik bis bareng aja. Gue gak bawa motor soalnya." Setelah itu, Aldefian kemudian beralih merangkul Analia yang masih terdiam.
Apapun yang dikatakan Aldefian setelahnya, gadis itu tak lagi berani merespon. Namun yang ia tahu, jauh di dalam dirinya justru hanya ikut menyetujui kehendak cowok yang kini tengah merangkulnya tersebut.
Jatuh cinta memang membuat seorang Analia Andries terlihat lebih aneh.
***
Seorang siswi berkucir satu mendudukkan dirinya pada salah satu kursi plastik tanpa sandaran berwarna hijau, sambil sesekali membasuh peluh yang bercucuran di dahi lalu menatap siswa di sampingnya dengan sedikit dongkol. "Bukannya kita mau pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...