24. Kenyataan

802 125 5
                                    

Delina masuk ke dalam apartemen dengan raut wajah yang lelah. Ia menarik napas kemudian menghembuskannya pelan. Lalu segera mendaratkan bokong ke atas sofa dan menyandarkan punggung. Menutup mata sejenak dengan kedua jari memijat pangkal hidung.

"Ma?" Suara itu membuat kelopak mata Delina kembali membuka. Bergumam pendek sebagai balasan.

"Aku udah liat kadonya." Aldefian berjalan mendekat. Sambil membawa amplop cokelat. Ikut duduk di sofa tunggal.

"Ya," Delina menjawab singkat.

"Aldefian itu ... nama ayah kandungku?" Aldefian sungguh tak tahan. Langsung saja ia keluarkan semua dugaannya.

Mama membenarkan posisi kepala. Menangkup wajah dengan telapak tangan lalu menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.

"Iya." Sekali lagi Delina menjawab singkat.

"Terus ini tulisan siapa?" Aldefian terdiam. Mencoba menjawab sendiri pertanyaannya yang mungkin akan sangat sulit untuk ia jabarkan.

"Aldefian," Mama menjawab, "nama dia juga Aldefian."

Aldefian tertawa sumbang. "Ternyata bener." Giginya menggertak kuat. Wajah dengan tawa itu justru terlihat kaku dengan rahan mengeras. "Aku nggak sepenuhnya lahir dari kesalahan kan?"

Kelahirannya ialah sebuah kesalahan. Hal itu sudah ditanamkan Aldefian dari dulu. Meski sulit, Aldefian menerima hal itu, tapi sekarang ... ia menginginkan sebuah jawaban yang membuatnya berpikir hal lain dan sejurus kemudian Delina mengangguk.

"Waktu itu Mama terlalu kaget. Kehadiran kamu nggak semudah itu untuk diterima. Beda sama kehadiran Alex."

Ya. Kehadiran Aldefian memang tidak pernah terpikirkan bagi Delina. Tuhan terlalu cepat mengirimnya. Tanpa persiapan. Aldefian tahu itu.

"Kamu juga tahu kan, kalau Papa Alex sudah membuat banyak perubahan. Mama luluh sama dia, dan kehadiran Alex itu sama seperti berkat. Mama bahagia." Delina menelan ludah kelu, wajahnya hambar tak berekspresi. "Tapi, kamu? Kehadiran kamu beda."

"Aku tau, Ma."

Delina menganggukkan kepala. Dia kemudian bangkit. Untuk kesekian kalinya menarik napas. Terasa berat. Namun beban yang dipikul dipunggungnya terasa jauh lebih ringan sekarang.

Sementara itu Aldefian terdiam. Menatap kembali tulisan tangan dan dua lembar foto itu dengan senyuman getir.

Akhirnya ia tahu kenyataan sebenarnya.

Sebelum punggung Delina menghilang dari pandangannya, Aldefian menanyakan untuk terakhir kalinya, "apa Mama ... sekarang udah bisa merasa bahagia juga dengan kehadiranku?"

***

Delina masih menatap kosong sekitar ruangan yang diselimuti kegelapan pekat. Kamarnya memang selalu sesuram ini.

Saat berhasil menutup pintu dengan pelan, ia langsung ambruk. Mencoba meraba sesuatu yang dapat ia jadikan tumpuan untuk tetap berdiri.

Walau bagaimanapun, beginilah hidup. Hanya orang tangguh yang dapat duduk di puncak teratas.

Air matanya memupuk perlahan di rongga mata. Menjatuhkan bulirannya perlahan-lahan hingga menggenangi pipi. Delina menangis dalam diam. Ekspresinya masih tetap hambar. Sunyi, dan terlalu datar.

Surat itu adalah satu-satunya alasan.

Surat yang ia dapatkan saat ulang tahunnya beberapa waktu yang lalu. Dia tahu, emosi serta rasa tak terima atas kehilangan semua milik yang ia sayangi membuatnya jauh dari sosok yang diimpikan. Namun surat itu perlahan meruntuhkan bentengnya.

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang