Analia menutup pintu gudang dengan rapat usai mengambil beberapa deretan kursi yang bersusun ke atas yang berhasil menambah berat dari kursi plastik biru tersebut. Sementara, sebagiannya lagi Aldefian yang membawanya. Cowok itu telah berjalan lebih dahulu daripada Analia yang membawa kursi lebih sedikit dari dia tentunya.
Tampak kesusahan membawa kursi yang seharusnya ia bawa sedikit-sedikit itu, Analia tampak tak mengeluh. Lebih tepatnya ia tak ingin mengeluh. Setelah mendengar keluh kesah yang dilontarkan Aldefian dengan ekspresi yang tak senada sewaktu di gudang tadi, entah mengapa, Analia merasa lebih semangat dari biasanya.
Pola pikirnya yang menjelaskan bahwa semangatnya yang tinggi akan tertular jua pada sang tetangga, membuat gadis itu rela mengorbankan tenaga sepenuhnya untuk mengangkat kursi dengan semangat kemerdekaan.
Di depannya, Aldefian masih tak bersuara. Tak ada niatan sedikitpun menoleh ke arah Analia. Bahkan untuk menghentikan langkahpun, cowok itu merasa enggan. Mungkin saja, ia masih berusaha menetralkan perasaannya sehabis membahas topik itu kembali. Dan Analia memaklumi alasan tersebut.
Setelah sampai di tengah lapangan yang di sana terdapat banyak anggota OSIS sedang mondar-mandir, mereka berdua kemudian meletakkan susunan kursi yang hampir mengalahkan tinggi badan masing-masing. Mengusap peluh lalu kemudian anggota lainnya segera membantu untuk mengangkat kursi yang sebagiannya masih ada di gudang sana.
Farel, seorang ketua OSIS SMU Harapan Gemilang menghampiri Analia dan Aldefian. Tampak kikuk sejenak setelah melihat kehadiran cowok yang paling beken di SHG dengan nama panggilan Alex.
"Thanks An. Udah bawa kursinya. Lagian kan sia-sia juga, kalau misalnya pihak sekolah punya kursi tapi nggak kepake. Mendingan kursinya kita gunain buat acara perpisahan."
Analia mengangguk. "Nggak apa--apa Kak. Sebagian kursi juga masih ada di gudang. Aku sama Alex nggak bisa ngangkat semuanya."
"Iya. Tenang aja kok. Gue juga nyuruh lo buat ngangkat dikit doang. Sisanya tugasin buat anak-anak lain aja." Farel kemudian melirik ke arah Aldefian lalu tersenyum simpul. "Btw, makasih juga yah Lex. Udah bantuin."
Aldefian yang tadinya bengong, mengalihkan pandangan saat menyimak ucapan si ketua osis. Ia kemudian tersenyum manis lalu mengacungkan jempol. Tak lama kemudian, Farel izin untuk pamit setelah seseorang memanggil namanya.
Usai kepergian Farel, Aldefian mendekat pada Analia. Berbisik samar pada telinga gadis itu dengan gaya ala penggosip. "Apaan coba? Masa cewek dikasih tugas buat ngangkat kursi gitu. Mana barang lain masih banyak di gudang lagi. Untung gue bantuin lo tadi."
Gadis itu hanya mampu terkekeh geli mendengar omelan Aldefian. "Yah kan, sebagian pengurus OSIS yang lain lagi sibuk juga. Dan mereka udah kebagian tugas masing-masing. Kebetulan liat gue, makanya Kak Farel minta bantuan gue. Dia juga nggak maksa kok, buat nyuruh gue ngangkat yang banyak-banyak."
Penjelasan Analia hanya dihadiahi dengusan oleh Aldefian. Tak lupa pula, kedua bola matanya berotasi malas. Tampak tak percaya saja dengan ketua OSIS yang masa jabatannya tinggal menghitung hari tersebut.
Alhasil, cowok itu kemudian kembali berjalan mendahului Analia.
Namun yang anehnya, gadis itu tak ingin beranjak pula dari tempatnya. Di dalam hatinya ada hasrat untuk berhenti sejenak, memandangi punggung serta bahu yang lebar itu. Namun di satu sisinya, tampak begitu hambar. Kosong.
Wajah ceria yang ditampilkan si pengukir senyum selalu berhasil menipu setiap pasang mata. Bahkan lewat sudut pandang Analia kini, langkah ringan itu seolah-olah sedang bersandiwara. Padahal realitanya dia sedang menanggung beban yang kian berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...