Aldefian berjalan santai menyelusuri jalanan kompleks yang akan mengantarkannya kembali ke rumah.
Cowok bandel yang tetap keukeuh untuk membelikan Mbok Inah obat maag di warung, karena asisten rumah tangganya tersebut sedang sakit maag di rumahnya lantaran telat makan itu baru saja ingin memasuki rumah dengan sekantong pelastik yang ia tenteng di tangan kanan.
Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang cowok yang baru saja keluar dari rumah tetangga sebelahnya.
Sepasang netra cokelat itu memicing, berupaya untuk menajamkan penglihatannya ke arah cowok yang menjadi objek utamanya tersebut. Nah lho, kenapa keluarnya dia bawa-bawa bunga?
Bunganya bukan bunga mawar atau bunga yang berkesan romantis lainnya. Tapi bunga yang dibawanya tersebut adalah bunga yang biasanya diperuntukkan dan ditemui saat acara pemakaman.
Aldefian mengernyit dalam menatap cowok yang baru saja keluar dari rumah Analia itu. Cowok yang baru keluar itu pun balas menatap Aldefian yang ia rasa sedari tadi telah memerhatikannya.
Cowok itu terhenti tepat di depan Aldefian dengan sedikit kernyitan tak suka. "Ngapain lo liat-liat gue?"
Aldefian berkedip dua kali lalu menggeleng spontan. "Lo cari Analia?" Aldefian menunjuk rumah yang baru saja dimasuki cowok itu.
Cowok yang belum Aldefian ketahui namanya itu mengangguk pelan kemudian kembali bertanya, "lo tau dia kemana?"
Aldefian berjalan mendekati cowok itu saat pandangan sepasang mata di hadapannya terlihat lebih bersahaja. "Enggak. Emang lo siapanya? Mau lamar dia yah? Kok lo pake bunga orang mati, sih?"
Tatapan bersahaja itu hilang sepersekian detik setelah Aldefian mencetuskan kalimatnya. Cowok itu kembali menunjukkan air muka tak suka. "Gue Kakaknya. Untuk apa gue mau lamar dia?"
Aldefian melebarkan matanya. Tapi selang beberapa detik kemudian ia mengganti ekspresinya itu dengan seulas senyuman ramah. "Ohh, elo kakaknya toh. Tapi kenapa kalian gak tinggal bareng?"
Arnold terdiam sedikit lama sebelum akhirnya ia menjawab, "bukan urusan lo."
Aldefian mendadak canggung. Harusnya ia tak bertanya pertanyaan yang seolah-olah ikut campur dalam urusan keluarga mereka. Untuk menghilangkan kecanggungan tersebut, Aldefian kemudian kembali mengulum senyuman. Bibirnya yang kemarin terlihat sedikit pucat, kini terlihat kembali seperti sebelumnya saat Aldefian masih sehat.
Dia mengulurkan tangan pada Arnold mengajaknya untuk berkenalan. "Oh iya, kenalin nama gue Aldefian. Panggil aja pake nama beken gue, Alex." Sekali lagi senyuman Aldefian terkembang lebih lebar saat uluran tangannya mendapat sambutan balik. "Dan gue pacarnya Analia. Alias calon adik ipar lo. Mohon restunya calon kakak ipar. Hehehe."
***
"Kamu udah punya pacar yah? Kenapa gak cerita?"
Analia menolehkan kepalanya. Menatap Arnold dengan tatapan terkejut. Namun yang ditatap masih saja berekspresi santai.
Walaupun sebenarnya hati tak sejalan dengan sikapnya.
"Berita dari mana itu? Aku gak pernah pacaran kok." Analia mengilah cepat. Gadis itu mendadak gugup. Nama yang paling pertama terlintas dalam pikirannya hanyalah satu; Aldefian.
Arnold tersenyum. Lebih terkesan sinis. "Alex atau Aldefian itu 'kan pacar kamu?"
Apakan dia bilang. Pasti Aldefian pelaku utamanya. "Kapan dia bilang gitu? Itu bohong kak."
Arnold menoleh sekilas, menatap wajah wajah pias milik adiknya kemudian kembali menatap jalanan dan berusaha fokus mengemudi. "Tadi siang aku ke rumah buat jemput kamu supaya kita ke pemakaman Mama dan Papa bareng-bareng. Tapi kamu udah pergi duluan. Dan aku ketemu sama dia di depan rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...