Cowok itu berlari memasuki area sebuah kafe. Helaan napas lega terdengar darinya saat mendapati sang Mama yang duduk tak jauh dari tempatnya kini berpijak.
Tanpa pikir panjang, Aldefian menghampiri Delina. Menarik kursi kosong yang berada tepat di hadapan Sang Mama seraya menampilkan senyuman simpul saat Delina menatapnya dengan kerutan di dahi.
"Ngapain kamu ke sini?"
Aldefian bergumam agak lama sebelum akhirnya menjawab, "aku nyari Mama dari tadi. Soalnya Mama gak ada di rumah."
Alih-alih tersentuh dengan kalimat sang putra, Mama justru tersenyum sarkas membalas ucapan anaknya tersebut. "Kamu masih ingat sama Mama kamu? Mama kira kamu sudah lupa."
Senyuman yang terpatri di wajah Aldefian kian memudar.
Kapan ... dirinya melupakan wanita yang paling disayanginya itu? Rasanya tidak mungkin bila Aldefian sampai hati untuk melupakan sang Mama.
"Aku nggak mungkin lupain Mama. Wanita yang paling aku cinta, tapi sayangnya dia lebih cinta sama uang."
Ucapan Aldefian berhasil membuat Mama melemparkan tatapan tak suka padanya. Tetapi tak apa. Bagi Aldefian, tatapan itu sudah lazim didapatkannya.
Aldefian kembali berpikir keras untuk menemukan topik tepat yang dapat mengalihkan susana tak mengenakkan ini saat Mama tetap menatapnya tak suka. Hingga kemudian sebuah ide tercetus di otaknya, "Mama liat cabe yang dibawa Papa ke rumah gak?"
Delina tersenyum hambar. Masih agak sinis saat membalas, "dia calon istri Papa kamu."
"Tapi dibanding sama itu perempuan, Mama lebih cantik kok," goda Aldefian sembari tersenyum manis.
Mama hanya mampu menggeleng kecil. Tersenyum singkat, sebagai balasannya terhadap godaan tersebut seakan-akan sindiran yang baru saja dilontarkan pada Aldefian tadi telah dilupakannya.
Delina kemudian bangkit dari kursinya yang disusul oleh Aldefian setelah itu. "Kamu pulang sana. Mama masih punya banyak pekerjaan."
Aldefian kembali mengulas senyuman, menyimpan pil pahit yang bersedia untuk ia telan sesaat setelah ia kembali membiarkan punggung Mama menjauh dari pandangan karena anggukan yang diberikan olehnya.
"Sampai kapan Mama tergila-gila sama kesempurnaan?" Aldefian bergumam kecil. Seakan-akan kalimatnya itu menjadi sebuah perwakilan dari pikirannya yang telah berkecamuk sedari tadi.
Meskipun Mama seoranh wanita perfeksionis dan tergila-gila dengan pekerjaan dan uangnya ... tetap saja.
Sampai kapanpun, Aldefian tetap sayang pada Mama.
***
Cowok berkemaja kotak-kotak itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang Bagas. Aldefian memejamkan matanya sesaat. Dengan napas yang beraturan, Aldefian berusaha mengatur pikirannya yang sedari tadi tampak kacau.
Libur selama seminggu karena kelas 12 menghadapi ujian membuat Aldefian merasa bosan jika hanya terus tinggal di dalam rumah saja. Ditambah lagi dengan situasi rumahnya yang kacau, Aldefian lebih memilih untuk menginap saja di rumah Bagas dari pada tinggal di rumahnya sendiri.
"Nih, minum dulu. Gue tau lo capek," tawaran dari Bagas, sang tuan rumah membuat kelopak mata Aldefian terbuka lebar. Wajah yang tadi terlihat muram dengan segera ia buang jauh-jauh, kemudian diganti dengan senyuman dan ucapan terima kasih saat menerima segelas air putih tersebut.
Bagas ikut mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. Menatap temannya itu dengan khawatir sekaligus iba. Bagas kemudian menghela napasnya. "Lo ada masalah di rumah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Neighbour
Teen Fiction"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taruhan konyol, Aldefian bertekad untuk menaklukkan hati Analia, tetangga sekaligus ketua kelasnya yang...