25. Choice

698 123 0
                                    

Aldefian merasa bosan.

Sudah hampir satu jam Analia mengelilingi kumpulan rak buku dan meraba setiap sampul buku yang sempat ia tarik keluar. Namun kembali ia selipkan karena urung.

Bukan buku itu yang ia cari, katanya.

"An, udah ketemu belum bukunya?" tanya Aldefian lagi.

"Engh, udah sih," jawaban Analia membuat Aldefian menaikkan alisnya tinggi-tinggi.

"Wow. Kenapa lo nggak bilang dari tadi?" Cowok itu gemas sendiri melihat ekspresi Analia yang berubah menjadi canggung.

"Sebenarnya gue udah beli bukunya tadi siang sama Gita."

"Sama Gita?" ulang Aldefian.

Analia mengangguk. "Karna sebenarnya gue ngajakin dia duluan ke toko buku, tapi dia bilang nggak bisa. Akhirnya gue ngajak lo deh." Analia berhenti sejenak. Membuat Aldefian memasang telinganya lebih baik-baik. "Tapi pas pagi tadi dia bilang, bisa nemenin gue ke toko buku. Dia udah bilang sama Mamanya nggak bakalan ikut ke acara keluarganya demi nemenin gue. Jadi gue nggak enak buat nolak."

"Dan lo juga nggak bisa bilang nggak jadi sama gue kan?" Aldefian menyeringai geli, menyaksikan Analia yang mendadak salah tingkah.

"Kalau tau gitu, mending kita nonton aja dari tadi," Aldefian berujar santai membuat Analia mendongak menatap netra cowok itu.

"Nah lho, lo nggak marah?"

"Nggak. Lagian buat apa?" Cowok itu tertawa renyah. Membawa Analia ke bioskop yang saat itu juga berada dalam satu mall yang sama.

Setelah membeli pop corn, minuman dan tiket untuk dua orang, Aldefian dan Analia masuk ke ruangan bagian dalam bioskop. Sengaja mereka memilih film yang sudah hampir tayang, agar tak lama lagi menunggu.

Sampai di kursi yang mereka pesanl, tak lama kemudian film mulai tayang. Dimulai dengan adegan pertama di mana lima orang sahabat asyik tertawa karena mengobrolkan sesuatu.

Aldefian melirik Analia yang lebih serius memakan pop cornnya. Sebenarnya ia sudah menduga bahwa film melankolis seperti yang disaksikannya kini tak akan menarik minat sama sekali.

"Nggak nonton?" Kondisi dalam ruangan ini sepi. Keadaan penonton mungkin tak seramai ruangan sebelah yang tengah menyaksikan pemutaran film terbaru produksi hollywood.

"Filmnya bosenin."

"Kita emang sependapat." Mereka berdua saling bertatapan lalu tertawa pelan.

Aldefian mencomot pop corn miliknya lalu memasukkan ke dalam mulut. "Lo tau? Kenapa tuh cewek gak ngebales perasaan tuh cowok? Padahal mereka temenan dari kecil." Aldefian menunjuk-nunjuk layar yang tengah menampilkan suatu adegan di hadapannya.

"Lho, emang kenapa? Lo tau?" tanya Analia heran.

"Karena cowoknya terlalu lebay, cupu, lembek. Coba aja dia keren, manis, apalagi jago gombal kayak gue. Dijamin, pasti tuh cewek mau sama dia!" Aldefian berkata bangga. Ia tepuk-tepuk dadanya dengan senyuman sombong.

Analia yang melihat hal itu malah mendengus. Memukul pelan lengan cowok di sampingnya lalu ikut menarik senyum. "Lo kali yang lebay. Bukan dia."

"Dih, kok gue?" Aldefian mengernyitkan alis, tidak terima. Analia diam tak menjawab. Sedetik berikutnya cowok itu memulai topik baru lagi, "oh, ya. Lo tau nggak An? Gue udah bicara sama Mama."

"Beneran?"

Aldefian manggut. "Hmm."

"Trus gimana? Mama lo bilang apa?" Film di depan mereka tidak menarik lagi. Sekarang Analia sudah terfokus sepenuhnya dengan topik baru ini.

"Lulus SMA gue pindah ke luar kota. Gue juga bakalan lanjut kuliah di sana. Mama belum mastiin tempatnya. Selesai ngurus semua pekerjaan, gue dan Mama bakalan pindah."

Analia terdiam. Tunggu. Apa maksudnya ini? "Apa-apaan, sih? Lo mau pindah?"

Sebenarnya Analia ingin Aldefian menjawab dengan gelengan, namun jawaban yang disampaikan selanjutnya berbeda jauh dengan yang Analia inginkan. "Ya. Semacam itu." Aldefian mengangguk sekali.

"Kenapa?" suara Analia terdengar sangat pelan.

Aldefian tahu, bahwa gadis di sampingnya ini merasa agak kecewa. Jadi, Aldefian memutuskan tersenyum sambil menjawab, "karena Mama, An. Gue merasa ini waktu yang tepat bagi gue dan Mama gue untuk perbaikin semua hal yang rusak di antara kami."

Mereka berdua bergeming. Larut dalam pikiran masing-masing. "Lo nggak bisa tinggal di sini aja?"

"Gue pengen banget, An. Gue masih nggak bisa relain semua hal yang ada di sini. Gue nggak bisa relain temen-temen gue dan gue nggak bisa ninggalin lo." Kembali terdiam, hanya suara dari aktor yang memerankan film di hadapan mereka saja yang terdengar.

"Gue?"

Aldefian tersenyum kecil. "Iya. Gue nggak mau ninggalin lo."

Analia meremas tangannya. Udara dingin dari AC membuatnya semakin gugup. "Lo udah kasih tahu Tara, Bagas, sama Andre?"

"Belum."

Pembicaraan itu berakhir begitu saja. Analia tak lagi mengeluarkan suara selama film berlangsung. Aldefian juga demikian. Sampai film selesai, di perjalanan saat Aldefian mengantar Analia pulang, hingga tiba di depan rumah gadis itu. Usai melepas helm dan mengembalikan pada si pemiliknya, Analia segera berbalik dan masuk ke dalam rumah. Tidak berbicara sama sekali. Aldefian jadi tambah bingung. Sambil menggaruk tengkuknya, Aldefian mengendarai motornya menuju jalan pulang ke rumah.

Setelah sampai di dalam kamarnya, Aldefian sempat goyah. Ia berpikir menolak tawaran sang Mama untuk pindah dan tinggal di sini saja. Namun, sepintas memori mengenai kejadian tempo hari lalu terbayang dalam benaknya.

Saat di mana Aldefian mengetahui segalanya. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya beberapa waktu lalu. Sebelum punggung Delina menghilang dari pandangannya kala itu, Aldefian menanyakan untuk terakhir kalinya, "apa Mama ... sekarang udah bisa merasa bahagia juga dengan kehadiranku?"

Pertanyaan itu membuat sang Mama menghentikan langkah. Menoleh dengan wajah datarnya. "Maksud kamu?"

"Apa Mama ... bahagia sama aku sekarang? Persis dengan yang Mama rasain pas Alex lahir. Apa Mama bahagia dengan aku sekarang?" Wajah Aldefian semakin serius. Dia bahkan sampai bangkit dari duduknya dan berdiri agar dapat melihat sepasang mata Mamanya lurus-lurus.

Delina terdiam. Ekspresinya sedikit terkejut. Kemudian ia tersenyum pahit. "Aldefian, Mama berencana untuk pindah ke luar kota. Mama mau melupakan semua hal buruk dan memperbaiki segala hal rusak di lingkungan yang baru." Delina menelan ludahnya kelu. "Apa kamu mau ikut pindah sama Mama, lulus SMA nanti? Kamu bisa melanjutkan pendidikan kamu di sana."

Aldefian terkesiap. Apa kalimat-kalimat yang barusan ia dengar itu benar keluar dari mulut Mamanya?

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Delina sadar akan situasi yang mendadak hening. Dia berdehem sebentar, akhirnya dia berkata, "Mama tau, Mama belum bisa jadi Mama yang baik bagi kamu." Delina menarik napas dalam. Mengisi rongga paru-parunya dengan udara. "Tapi terima kasih, kamu udah berusaha jadi anak terbaik buat Mama."

Aldefian menutup mata lelah. Lintasan memori itu seketika berakhir. Ia tidak ingin meninggalkan teman-temannya. Lagi pula Aldefian juga sudah terlanjur merasa nyaman di kota ini, tapi jika dibandingkan dengan pilihan lain untuk tinggal dan memulai segala hal baru bersama Mamanya ... seharusnya Aldefian tidak usah berpikir dua kali lagi.

Sembari berpikir, ponsel Aldefian berdering. Segera ia meraih ponsel dan mengecek notifikasinya.

Satu pesan dari Analia.

Alis Aldefian meninggi. Ia memperbaiki posisinya menjadi duduk. Membuka pesan itu dengan penasaran.

Analia : Sorry buat yang tadi. Kalau bisa gue pengen bicara sama lo. Kapan punya waktu luang?

****

Ini menjelang chapter2 terakhir. Hehehehe.

Silakan divote dan dikomen yah. Makasih~

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang