Alsera melirik kursi sebelahnya yang kosong. Sudah beberapa hari Axel menghilang. Membuat pikirannya tak bisa berhenti memikirkan manusia satu itu.
Langit biru seakan tak punya jawaban lagi atas apa yang akan segera terjadi. Cuaca belakangan sangat cerah, bahkan keterlaluan panas. Seolah tak mau menyadari bahwa waktunya sebentar lagi dirinya mungkin akan berantakan.
Alsera memijat pelipisnya, dunianya sepi belakangan. Ia hanya sekolah dan bekerja beberapa saat tanpa melihat Axel dengan kameranya itu.
Hanya suara Vania yang memenuhi ruang dengarnya.
"Pagi, Ra!" serunya.
"Pagi," sahut Alsera tak semangat.
"Kenapa bete?" Vania melirik bangku Axel yang ada di sebelah Alsera. "Kangen ya sama pacar?" celetuk Vania yang membuat Alsera melotot.
Vania tertawa, Alsera juga demikian. Meski disisi lain rasanya sakit, menyadari bahwa peristiwa menyenangkan ini tak akan berlangsung lama.
"Eh, Ra! Pr matematika yang nomor 5 gimana sih?" tanya Vania.
"Oh itu tinggal masukin rumus, terus difaktorin aja, Van."
Mungkin hari itu kurang dari 1 bulan lagi, tapi rasanya lebih singkat dari itu. Vania mengangguk dan meletakan buku pr matematika diatas meja. Entah kapan ia membawanya.
--00---
Axel menatap dirinya di depan cermin kamar. Tak ada pantulan mahluk di sana. Ia tak terlihat. Axel hampir terjungkal kebelakang saat menyadarinya.
"Tuan lucu banget. Hahaha," kekeh Ann melihat Axel kaget.
Axel memutar tangannya, memunculkan sebuah cermin berbeda yang bisa menampilkan keadaannya. Ia mulai terbiasa membayangkan sesuatu dan memunculkannya.
Jubah biru dengan titik-titik putih serupa galaxy berpadu dengan rambutnya yang berubah putih dengan mata biru langit.
Senyumannya menyembang. Mungkin Alsera atau iblis itu tak akan menyadari kalau ini aku, batinnya.
"Eits! Tuan salah, benar untuk iblis tak mengenalimu, tapi kau tak bisa menipu malaikat yang radar kepekaannya tinggi," jelas Ann yang membuat Axel mengerti kenapa Alsera mudah sekali menyadari keberadannya.
"Ngomong-ngomong sudah berapa lama aku di sana?" tanya Axel penasaran.
Ann memutar bola matanya, berpikir. Kemudian jarinya menampilkan angka tiga dengan ceria.
"Tiga jam?" Axel menggaruk kepalanya, ia merasa lama sekali bergulat dengan mahluk itu.
Ann menggeleng. "Tiga hari!"
Kedua mata Axel melotot, ia segera melayang ke kamarnya dan pergi membersihkan diri kilat. Ia sempat melirik jam utama di ruang tengah. Pukul 06.30 dan ia selesai bersiap pada 06.31 kemudian melesat pergi.
Membiarkan kedua kakinya melayang rendah dan menyentuh tanah perlahan, ia menanggalkan wujud anehnya itu dan mulai tampak sebagai manusia lagi.
"Hey ann," panggil Axel pelan pada Ann yang melayang rendah sebagai anak kecil lagi disampingnya.
"Apa aku tak terlihat dalam wujud aneh berjubah itu?" tanya Axel.
Ann menjitak kepala Axel kesal. '"itu bukan wujud aneh! Itu wujud asli Tuan tahu!"
Axel meringis. "Ugh. Okelah."
"Xel! Lo kemana aja?"
Seseorang langsung merangkulnya dari belakang erat. Membuat Ia oleh sedikit dengan tingkah sahabatnya itu. Yah, Dion.
"Sakit gue," jawab Axel sekenanya.
"Oh ya? Serius Xel? Sakit apa?" tanya Dion khawatir. Ia langsung menyentuh kening Axel.
Axel menepis lengan Dion, ia tersenyum. "Udah nggak apa-apa kok."
Pagi itu, diantara balutan sinar mentari yang mulai memancarkan panas, Axel kembali memulai harinya dengan normal. Meski ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak normal. Diantara dirinya, dan dunia.
"Wah akhirnya pacar lo dateng, Ra!" celetuk Vania--yang banyak berubah--saat Axel dan Dion tiba di pintu kelas.
Alsera menutup mulut Vania yang sangat berisik. Pipinya terasa panas. Tapi tak mengerti mengapa. Axel menaikan satu alisnya. Menatap kedua sahabat itu yang tak pernah normal untuknya.
Dion tertawa menyadari muka memerah Alsera yang lucu sekali. Cantiknya, batinnya.
Alsera terkekeh mengetahui pikiran Dion. Benar-benar manusia. Kemudian pandangannya beralih pada Axel. Kalau dia? Hm. Bukan manusia normal.
Ann tertawa terjungkal kebelakang. "Tuan! Nona itu berpikir bahwa Tuan tidak normal. Hahaha."
Axel menghela napas. Membentuk lengkung senyuman tipis. Ia bergumam kecil "Yah, ayo kita ..."
"... mulai hari yang normal." sambung Alsera tersenyum menatap langit.
Mereka berdua bernasib sial yang sama. Baik Malaikat maupun Manusia sama-sama ingin kehidupan normal tanpa segala tanggung jawab yang ada. Namun apa daya?
--00--
Hari sekolah terlewat begitu saja. Seperti biasa tanpa ada perubahan yang terlihat. Burung-burung dilangit bertebangan kembali ke sarang mereka karena mentari akan beranjak tidur. Alsera menapaki trotoar bersama Vania--ini biasa--yang tak biasa adalah arah mereka! Mereka menuju mall yang kata Vania sangat menarik. Demikan kata Dion yang menarik Axel ikut begitu saja.
Mereka berdua pergi! dan berdua lainnya pergi! Jadi intinya mereka berempat pergi bersama.
Axel merutuki kemalangan pembicaraan itu.
"Raaa ... gue mau beli baju! Temenin ke mall ya?" rengek Vania pada istirahat kedua.
Alsera yang tengah menghitung tugas matematika menyaut, "Hm?"
"Ke mall! Deket kok dari sini, nggak perlu naik mobil! 15 menit nyampe, Ra." Vania menggoyangkan tubuh Alsera ke kiri dan kanan.
Alsera mengangkat pandangannya dari buku. "Tempatnya seperti apa?"
Vania menepuk jidat "Tempatnya seru! Lo belum pernah ke mall, Ra? Astaga."
Alsera memutar bola matanya. "Gue belum sempat jalan-jalan di kota ini, Van." sebenernya belum pernah sih, denger aja baru tadi.
"Ooh, lo dari luar kota ya?" Vania mengangguk-angguk.
Alsera mengangguk. "Ya udah gue temenin."
Vania meninju udara bebas. "Yes!"
"Gue ikut dong, mau beli sepatu," sahut Dion yang ternyata daritadi mendengarkan.
Vania menurunkan kepalanya menatap Dion. "Gak!"
Dion menatap Vania intens. "Pliiiisss, sama Axel juga kok, nanti kita pisah jalan aja."
Jemari Axel yang tengah mengitung nomor terakhir itu berhenti. Ia mengangkat kepalanya "Ap--"
"Oke setuju. Lo sama Axel boleh ikut," ujar Vania yang mendahului Axel
Dan beginilah nasibnya sekarang. Diantara dua manusia, satu malaikat, dan satu mahluk astral yang tak kasat mata bahkan untuk malaikat. Eh?
"Tuuuaann! Aku bukan Mahluk Astral!" Ann menjitak Axel dengan kepalan tangan kecilnya.
.
.
.
Tbc, 7 Mei 2017
Chaphine
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel, Human and Devil
FantasyMalaikat, Manusia dan Iblis terjebak dalam satu ruang ambisi yang sama. Memperebutkan dan menjaga sebuah hal yang berharga.