19 : Maaf

511 63 0
                                    

Alsera menyendokan makanan lembut berwarna putih ke mulutnya. Sensasi dingin segera menyergapnya.

"Enaak!" seru Alsera senang dan melahap seporsi eskrimnya lebih cepat. Sayapnya tampak bergerak ke atas ke bawah karena Alsera senang.

Axel memandang lurus Alsera yang menurutnya sangat aneh. Ia begitu bahagia seraya menyantap eskrim yang harganya bahkan tidak sampai sepuluh ribu.

"Mereka 'kan nggak makan eksrim di Heaven, Tuan," sahut Ann yang mengetahui pemikiran tuannya itu.

Mereka duduk satu meja. Tiga manusia, satu Malaikat dan satu mahluk astral melayang. Bercanda dan tertawa bersama.

"Lo kayak nggak pernah makan eksrim, Ra." Vania terkekeh yang membuat Alsera menekuk bibirnya sebal.

Tangan Alsera segera terangkat dan mencubit pipi Vania. "Jahat!"

Dion tertawa melihat tingkah dua remaja dihadapannya yang seperti anak kecil. Mereka bertiga menikmati makan-makan seusai berkeliling mall, menemani Vania dan Dion berbelanja. Axel menyendokan eksrim cokelat ke mulutnya. Berusaha menikmati waktu tenangnya juga.

"Eh Ra." Vania menyikut Alsera dan menurunkan volume suaranya. "Kiri."

"Hah?" Alsera menganga memerkan eksrim vanila yang baru masuk ke mulutnya. Setelahnya menoleh ke arah pandang Vania.

"Ganteng, Ra," bisik Vania yang dijawab anggukan Alsera.

"Di depan lo juga ada cowok ganteng elah, Van." Dion menatap dua cewek itu bangga. Axel terbatuk, hampir memuntahkan eskrimnya.

"Jijik, ah, On!" Axel mengeluh.

Dion mengangkat bahu dan bertingkah cuek.

Vania menekuk bibirnya sebal. "Iya deh, yang blasteran."

Sudut bibir Dion tertarik ke atas. "Ganteng ya?" Tangannya terangkat merapikan rambutnya.

Axel melempar kotak tisu di depannya pada Dion. "Najis! Bukan temen gue,Lo."

Alsera tertawa terbahak. Tingkah manusia memang ada-ada saja. Ia melirik bulan purnama yang bersinar terang sendirian diatas sana. Sayapnya bergerak-gerak kasar.

Mau terbang kamu ya? Maaf, ya aku tidak mau. Aku mau menikmati hari-hari sisa sebagai manusia. Lagipula aku sudah bertemu target sejak pertama kali tiba. Tinggal ... kubunuh saja.

Alsera tersenyum miris. Ia merasa jahat. Malaikat itu suci? Munafik. Dirinya tidak beda dengan Orias dan iblis lain. Sama-sama menginginkan kekuatan untuk satu tujuan, mereka hanya berbeda warna, hitam dan putih serta sifat yang simbolnya "Baik" dan "Jahat" hanya simbol, tidak lebih.

Ann bergindik ngeri membaca pikiran Alsera yang menyeramkan.

"Malaikat sok suci," cibir Ann.

"Jangan bermain denganku, Ann." Suara asing itu menggema ditelinga Ann.

"Huh? Siapa?" Ann menyisir keadaan sekitar. Ia tidak mendapati siapa-siapa. Pandangannya segera kembali fokus pada Alsera yang memandang kosong ke jendela.

"Kau pikir ... aku tidak menyadari keberadaanmu, huh?" Suara asing itu terkekeh. "Anak kecil."

Ann mengepalkan tangannya, segera ia menampakan wujud dewasa miliknya, posisinya bersiap menyerang. Axel mengamati dari ekor matanya.

Ada apa, Ann? tanya Axel dipikirannya.

"Jangan di sini, sayang. Duh anak kecil memang harus diajari." Suara itu lagi, Ann muak mendengar suara sombongnya.

"Tunjukan dirimu, keparat!" Annn berteriak sebal, cahaya biru melingkupi dirinya.

"Aaakkh!" Ann menjerit saat sebuah pita putih besar merambat tubuhnya dan menariknya ke atas.

Gelap. Ann seolah berada tepat dibawah langit. Ia menyisir keadaan sekitar dan mendapati sesosok perempuan bersayap putih yang menatapnya sinis.

"Aku baik pada manusia." Alsera menjulurkan lengannya cepat, membentuk bilah pedang berwarna putih terang yang berada dua sentimeter di sisi leher Ann. "Tidak padamu."

Ann terkekeh, ia menepis pedang Alsera dengan serbuk biru miliknya. "Aku juga tidak mau mahluk sok suci sepertimu baik padaku."

Ann memainkan jemari tangannya, seluruh tubuhnya dibalut serbuk biru yang bergerak-gerak siap menerima titah untuk menyerang.

"Kau membuatnya menjadi tidak suci, Ann." Alsera menggeram kesal.

"Huh? Dia? Tuanku Axel?" Ann tertawa. "Kau salah. Dia memang ditakdirkan begini."

"Tidak. Seharusnya dia tidak belajar dan mati lebih awal. Dengan begitu tangannya tidak akan kotor." Alsera menatap Ann penuh kebencian. Ia melemparkan bola cahaya putih pada Ann yang akhirnya pecah karena terbentur serbuk biru.

"Aku tidak akan membiarkannya mati." Ann menatap Alsera sinis. "Kau yang harus mati dan rekan iblismu itu."

"DIA BUKAN REKANKU!" Alsera menjerit. Ia melempar bola-bola cahaya pada Ann yang membuat pertahanan Ann roboh. Ia terlempar jatuh ke bawah.

Alsera mengembangkan sayapnya, terbang turun, menangkap tubuh Ann sebelum menghantam tanah. Kemudian menghilang dibalut cahaya lampu kota.

Ann memandang lurus ke depan, membiarkan serbuk birunya memulihkan tubuhnya. Perlahan air mengalir di pipinya. "Tuan ... aku lemah sekali, Maaf ...."

-00-

"Gue ma-mau ke to-toilet!" Axel segera berlari terbirit keluar. Tubuhnya gemetar. Napasnya sesak. Apa yang ia lihat tadi terlalu mengerikan. Ann terjatuh dari atas mall dengan kondisi kesakitan, tak lama Alsera terjun turun dan menangkapnya.

Tak mungkin Ann terjatuh, itu berarti Alsera menyerang Ann, tapi untuk apa Alsera menangkapnya? Atau tadi Iblis datang lagi dan menyerang Ann? Tapi Iblis 'kan tidak bisa merasakan aura Ann.

"Ugh ..." Axel masuk ke salah satu bilik toilet dan jatuh terduduk. Ia tahu, dirinya laki-laki. Tapi bagaimana Ia berhadapan dengan mahluk yang secara ilmiah tidak terdeteksi? Dua sekaligus pula. "Kenapa? Kenapa ini terjadi? Apa tanggung jawab itu? Membunuh mereka?"

Axel memeluk dirinya sendiri. Rasa takut menyerangnya, kuat sekali. "Ayah ... Ibu ... bagaimana?"

"Ya, Tuan." Ann muncul di hadapannya dengan wujud gadis tujuhbelas tahun seraya menunduk dalam.

Axel terdiam, mencerna semuanya. "Aku membunuh mereka? Begitu?"

"Ya. Tuan harus memperebutkan sebuah bola kekuatan pada waktunya nanti ... dengan bersaing, melawan mereka." Ann menatap Axel yang ketakutan seperti anak kecil.

Ann tersenyum, ia menghapus air mata yang menetes tanpa disadari Axel. "Kau memang putra kecilnya. Raditya Axel."

Ann memeluk Axel. "Kau kuat, Tuan. Tuan kuat," bisik Ann lembut.

Air mata Axel luruh, seperti anak kecil yang ketakutan. Bukan karena ia tidak normal, tapi karena masalahnya amat berat. Juga bukan karena ia tidak tahu malu, tapi karena trauma masa lalu.

Tanpa mereka berdua sadari, tepat dibalik dinding tempat mereka bersandar ada malaikat yang mendengar percakapan mereka seraya meneteskan air mata.

"Aku jahat sekali."

Kemudian ia terbang bebas ke angkasa, membiarkan air matanya hilang terbawa dinginnya angin malam.

"Maaf, aku ingin mencurangi takdir ini jika aku bisa. Aku ingin bahagia, mungkin tidak sebagai malaikat, tapi sebagai manusia seperti lo, Xel."
.

.

.

.

To be continue
Kamis, 1 Juni 2017

A/N: Ichaa lagi ikut event internal NPC2301 namanya Maso Writing Month /oke bukan/ namanya Marathon Writing Month! Doain semoga bulan ini nembus 10k dn tamat! :'')

Semangat juga buat para pejuang MWM di luar sana!

Angel, Human and DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang