Axel menatap dirinya yang kacau di cermin. Ia menatap geli dirinya sendiri yang sangat penakut. Tapi, siapa sih yang tidak takut?
Setelah usai membersihkan diri. Ia melangkah ke dapur dan membuat secangkir kopi untuk menyegarkan tubuhnya. Seraya menunggu air mendidih, Axel merasa aneh. Ada yang hilang.
Kedua matanya melotot saat menyadarinya. "Aan?! Ann kau di mana?" Axel segera keluar dari dapur dan menoleh ke segala arah.
"Aan!" Panggil Axel lagi. Ia berjalan, mengelilingi rumah. Langkah kaki yang besar-besar bergema ke seluruh penjuru ruangan. Pertanda bahwa seluruh sudut rumah sunyi, tanpa ada suara lain.
"Tuan." Suara lirih itu membuat Axel tersenyum. Ia ingin membalikan wajahnya, tapi tak bisa. "Jangan berbalik."
Kedua tangan Ann memeluk Axel erat dari belakang. "Udah gapapa?"
Axel mengangguk kecil, "Iya."
Ann tersenyum lebar. "Syukurlah, Tuan."
"Kau kenapa?" tanya Axel saat menyadari lengan Ann gemetaran.
Ann menggeleng. Penampilan Ann kacau, ia baru saja kembali dari ruang putih yang sebenarnya khusus untuk ia dan tuannya--ayah Axel--berlatih. Mulutnya terbuka mengucap serangkaian mantra, dan kembali ke wujudnya yang kecil.
Ia terbang ke hadapan Axel. "Aku senang, Tuan sudah sadar."
Ann menggerakan tangannya, membuka tudung meja makan tanpa menyentuhnya.
"Ayo makan!" seru Ann.
Axel memandangi Ann bingung, tapi akhirnya ia duduk dan makan.
"Ah, Iya." Ann memutar jemari tangannya. Sesaat secangkir kopi yang dibuat Axel mendarat di hadapannya.
Ann meletakan sendoknya, ia memperhatikan dengan saksama tuan kecilnya. Anak dari tuannya yang telah ... meninggal, lenyap demi kebaikan tiga dunia. Axel, kamu muda sekali untuk tugas ini, Nak.
Axel yang menyadari itu mengeryitkan dahi. "Kenapa, Ann?"
Aan tersenyum. "Abis makan, kita latihan, ya! Ini hari minggu 'kan?"
-00-
Dar!
Sebuah bongkahan batu besar diantara pepohonan hancur menjadi kepingan kecil-kecil yang menyala-nyala seolah terbakar dengan api.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas lebar sekali. Ia senang menyaksikan kehebatannya sendiri. Sayap hitamnya bergerak-gerak kasar. Ia menarik napas panjang sebelum melesat bagai peluru diantara pepohonan.
"Aku lelah menunggu gerhana," ujarnya pada matahari yang bersinar terik.
Tangannya terangkat, bibirnya bergetar mengucapkan serangkaian mantra yang membuat satu titik kegelapan muncul dan menyebar di depan matahari.
Tawanya menggelengar, namun tak bertahan lama. Kegelapan yang ia ciptakan hancur sebelum benar-benar menguasai matahari. Gerhana ciptaannya gagal.
"Argh." Orias mengacak rambutnya frustasi.
Kau tidak bisa mengubah hukum alam. Baik iblis, malaikat apalagi manusia.
"Keparat, sialan," runtuk Orias saat mendengar suara yang entah dari mana.
Orias menjatuhkan dirinya kebawah dengan gusar. Membiarkan sayap menopang tubuhnya secara spontan saat hampir menyentuh tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel, Human and Devil
FantasyMalaikat, Manusia dan Iblis terjebak dalam satu ruang ambisi yang sama. Memperebutkan dan menjaga sebuah hal yang berharga.