15

253 28 3
                                    

Athea terdiam, masih merenung sejak sepuluh menit lalu.

Rasanya ia ingin menangis sesenggukan saat ini, namun tangis tak akan membuat keadaan membaik, semua itu hanya memperburuk keadaan saja.

Ia duduk di kursi sambil melirik pintu yang terbuka, menghadirkan sebuah senyuman yang seketika pudar melihat raut wajah Athea yang murung.

Rindia menghampiri Athea yang sedang bertopang dagu. Ia perlahan bergeser dan menyentuh pundaknya lembut, "The, ada apa?"

Tubuh Athea menegak, kepalanya berputar memandang ke arah Rindia, "Luna? Dia tidur?" tanya Athea balik.

"Iya," sahut Rindia.

Beberapa detik suasana hening.

Rindia kembali melirik Athea, masih bingung dengan perubahan sikap Athea.

"Kenapa The, kamu murung gitu, ada apa?" tanya Rindia lembut.

Athea terdiam lalu sedetik kemudian mengusap wajahnya lembut, ada sebuah raut wajah kesedihan tersirat di sana.

"Gua bingung, rasanya gua kehilangan banyak waktu sekarang." ujar Athea dengan nada penuh penyesalan.

Alis Rindia bertaut, masih ambigu dengan pernyataan yang dilontarkan Athea.

"Luna, udah stadium tiga." lanjut Athea bergetar.

Mata Rindia membulat, kini ia mengerti dengan ucapan Athea yang menjurus pada hal apa.

"Separah itu kah penyakit Luna?" tanya Rindia.

Perlahan kepala Athea mengangguk, "Luna anak yang kuat dan mandiri, dia satu-satunya tempat gue pulang, dan dia anak yang buat gue mengerti akan suatu hal,"

"Bersyukur akan tiap-tiap hal yang telah kita miliki saat ini."
lanjut Athea.

Rindia menyimak semua perkataan Athea, mencerna sikap Athea yang benar-benar berbeda dengan Athea yang selama ini dilihat sebagai biang onar sekolah.

"Tadi, bu Fathia bilang, sebelum masuk rumah sakit, kondisi tubuh Luna melemah, dia lebih sering mimisan, pingsan, berat badannya berkurang karena ga nafsu makan, dan setelah masuk RS diagnosa dokter bulan lalu bener. Penyakit leukemia yang diderita Luna udah masuk stadium tiga, cukup parah buat anak seusianya. Sekarang cuman tuhan yang bisa dijadiin harepan." jelas Athea membuat perasaan Rindia terhenyak sejenak, terkejut dengan apa yang terjadi.

"Rin," ucap Athea.

Rindia mendongkak, menyahut Athea dengan suara pelan.

"Lu mau kan bantuin gue," lanjut Athea sambil memandang nanar manik mata Rindia.

"Apa?"

"Bantuin gua bikin permintaan Luna terwujud untuk terakhir kali nya."

Rindia menelan ludah, sedetik kemudian mengangguk mantap mengiyakan permintaan Athea.

***

"The, mau kemana si lo, buru-buru amat." tanya Raka ketika beberapa menit bel pulang terdengar.

"Gua mau ke mall." sahut Athea yang sedang membereskan buku tanpa melirik Raka.

"Mall? Tumbenan, sama siapa? Mau beli apa?" tanya Raka heran, membanjiri Athea dengan pertanyaan.

"Ah, kepo lo. Ga usah tau, urusan pribadi." sahut Athea.

"Idih, aneh banget. Lo nyembunyiin apaan sih dari gue, dari kemaren lo susah banget dihubungin mana ngilang mulu lagi." tanya Raka.

sisterhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang