26

219 24 0
                                    

Nenek menoleh, lalu beranjak mendekati Rindia yang masih terpaku.

"Rindi, abis dari mana aja, jujur sama nenek, kamu bolos sekolah dan pergi kemana nak," tanya nenek histeris, menghujaninya dengan pertanyaan.

Athea mengikuti langkah nenek dan mendekat ke arah Rindia, "Lo kenapa Rin, kenapa nggak cerita kalau ada masalah." timbal Athea, Rindia mulai merasa terpojokkan, ia melepas genggaman nenek lalu berlari keluar secepat mungkin.

Athea mengejarnya keluar, hingga Rindia berhenti di lapangan kampung.

"Stop ngikutin gue The." ucap Rindi kasar, membelakangi Athea.

"Ya gak akan lah, lo pun lari tanpa penjelasan, apa gue harus berhenti untuk mencari kejelasan Rin?" tanya Athea, langit mulai tertutup dengan awan hitam beberapa tetes air hujan mulai terjatuh.

"Apa sepenting itu kejelasan buat lo The, buat apa, buat apa The?" tanya Rindia balik dengan nada tinggi.

"Penting, karna gue nggak suka orang pergi gitu aja ninggalin gue tanpa penjelasan apa-apa." tukas Athea.

Rindia menggigit bibir bawahnya, "Gue bohong The, gue bohong atas ucapan gue kemarin." Rindia berbalik perlahan memandang Athea.

"Yang sebenernya gak baik itu adalah gue, gue gak baik buat lo The." lanjut Rindia sambil meneteskan air mata, berbarengan dengan jatuhan hujan yang mulai bergerak cepat membasahi kepala dan baju Athea juga Rindia.

"Yang bisa nilai kita itu orang Rin, kadang perkiraan kita terhadap diri sendiri selalu melenceng, nggak usah menghakimi diri lo sendiri, karena gua nggak pernah berpikir bahwa lo nggak baik buat gue, Rin, lo udah bikin gue berubah, banyak berubah." ucap Athea setengah berteriak karna derasnya hujan membuat suaranya tak begitu terdengar.

Rindia menggelengkan kepala, "Nggak, lo nggak tau The, gue jahat. Gue, udah manfaatin lo, supaya terhindar dari bully an anak-anak disekolah, membuat mereka gak pernah ganggu gue lagi, gue manfaatin lo The, gue bohongin lo, gue bukan orang baik." teriak Rindia sambil menangis tersedu-sedu.

Athea terdiam.

"Gue nggak marah. Gue sekarang udah biasa di manfaatin orang, yang penting gue bermanfaat buat orang. Nggak masalah." teriak Athea meyakinkannya.

"Nggak, gue tetep gak bisa," Rindia mendekati Athea, ia kini berdiri di hadapan Athea dengan mata merah, rambut basah, cucuran air menetes dari dagunya.

"Lo tau gue selalu di panggil apa di sekolah?" tanya Rindia.

Athea berpikir sejenak, "anak haram," ucap Rindia mendahului Athea.

"Tapi, kenapa?" tanya Athea.

"Mereka bener The, gue udah bohongin lo selama ini, orang tua gue nggak mati, mereka lari, gue nggak punya ayah dan lo tau gue adalah anak dari seorang PSK The! Mereka bener gue ini anak haram." ucap Rindia sambil memegang bahu Athea meyakinkannya.

Athea terperengah, ia masih terkejut dengan pengakuan Rindia.

"Hidup gua udah nggak ada artinya lagi ketika mereka menghina gue dengan sebutan itu, dan asal lo tau gue kena HIV The, nggak ada yang perlu gue perjuangin lagi sekarang, persetan dengan sekolah dan nilai, toh bentar lagi gue mau mati!" ucap Rindia berteriak sambil menangis dan memaki.

"Cukup Rin!" sentak Athea.

"Gue nggak akan pernah buat lo menyerah sama penyakit itu, lo harus gapai cita-cita lo, gue akan lindungin lo dari semua anak yang hina lo, gue akan simpan rahasia lo baik-baik, karna lo tau gue sahabat lo Rin, lo inget ucapan lo waktu itu, sahabat itu saling berbagi, saling menjaga, saling menasehati dan saling mendukung satu sama lain, biarkan gue jadi sahabat yang baik buat lo Rin, karna gue percaya lo kuat, lo pasti akan menggapai cita-cita lo, penyakit itu bakal hilang dengan sendirinya jika lo percaya sama tuhan." ujar Athea meyakinkan Rindia dengan segala perkataannya.

Rindia menunduk, menangis tersedu-sedu, Athea meraih pundak Rindia lalu memeluknya erat meyakinkannya bahwa ia tak akan sendiri.

***

Kejadian itu, membawa banyak pelajaran bagi Athea selama ini ia selalu menghiraukan kata-kata Raka untuk mencoba bersosialisasi dan menjalin pertemanan dengan banyak orang.

Ternyata ini yang Raka maksud, banyak pelajaran yang bisa ia ambil dari setiap orang yang ia kenal, pelajaran hati, hidup, dan persahabatan.

Athea memandang foto kecil hasil jepretan camera, photo shoot di daerah mall waktu itu. Ada senyum bahagia terpancar dari wajah Athea dan Rindia disana.

Rindia banyak memberinya pelajaran bersyukur pada tuhan karena telah memberikannya keluarga lengkap di kalangan normal, walaupun egonya masih tak bisa memperbaiki keadaan rumahnya. Di atas langit masih ada langit, ada banyak orang yang mempunyai masalah jauh lebih berat dari apa yang kita alami sekarang.

"Besok gua ulangan matematika, doain ya, moga aja dapet sembilan syukur kalo sepuluh." ucap Athea sambik meneguk minuman berperisa jeruk di atas rooftop bersama Rindia.

"Amiin, semoga aja ya, tapi aku percaya kok sekarang nilai kamu bakalan bagus yakin deh, kalo nilai kamu sembilan aku akan traktir kamu coklat panas di cafe." ucap Rindia tersenyum senang.

"Oke, siapa takut." tantang Athea.

"Haciiim ..." Rindia bersin,

Athea menatap Rindia khawatir, "lo nggak papa Rin, kita ke bawah aja yuk, di sini dingin takutnya lo masuk angin." ujar Athea sambil mengelus bahu Rindia.

Rindia tersenyum membalas Athea, lalu memegang tangan Athea yang berada di bahu sebelah kanannya.

"Aku nggak papa The, kata dokter, ini emang gejala awalnya, aku bakalan ngalamin flu lebih lama dari orang normal lainnya, insyaalloh, aku kuat The, jangan lupa doain aku ya." sahut Rindia sambil tersenyum menguatkan dirinya sendiri.

"Gue bakalan terus doain lo Rin, lo pasti sembuh gue yakin, jangan lupain cita-cita lo, lo bakalan sukses Rin, gue percaya sama keajaiban tuhan." Athea tersenyum getir.

"Iya The, semoga aja." Rindia kembali mengalihkan pandangan ke depan.

"Dulu, aku pengen banget jadi pianis setelah ngedenger permainan piano nya mozart, aku suka piano, tapi sayangnya aku nggak bisa main piano, tapi tuhan sekarang menakdirkan kita ketemu The, kamu si cewek badgirl sekolah yang ternyata jago main piano, bersahabat sama aku, si cewe culun kutu buku yang gak berguna, aku beruntung banget punya kamu The, kita sahabatan sampe nanti ya." tutur Rindia.

Athea menelan ludah, hatinya bergetar, terenyuh dengan kata-kata Rindia, kemudian ia tersenyum sambil merangkul bahu Rindia.

"Jangan pernah berhenti main piano The, aku pengen selalu dengerin permainan piano kamu, semoga aja kamu jadi pianis terkenal ya," Rindia tersenyum riang ke arah Athea.

"Hm, semoga aja tuhan nakdirin gue buat jadi itu," jawab Athea membalas senyuman Rindia.

sisterhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang