11. Faktanya

3.1K 145 0
                                    

Derlan memasuki rumahnya, baru saja ia menutup pintu rumahnya, ia di suguhkan pemandangan yang membuat ia mengeraskan rahangnya.

Mamanya di tampar oleh papanya.

"Brengsek" gumam Derlan.

Derlan membantu mamanya berdiri. Menyuruh bi inem untuk membawa mamanya ke kamar.
Derlan menatap seorang yang dulu mengajarkannya untuk menghargai dan tidak kasar pada perempuan. Ia menatap lurus tepat di manik mata papanya "Apa sekarang masih pantas papa menjadi panutan Derlan?"

Lanjut Derlan "Dulu siapa yang mengajarkan bahwa kita sebagai laki laki harus menghargai dan tidak kasar pada perempuan?"

Devan menggertakan giginya "Jangan ikut campur kamu Derlan. Kamu tidak tau apa apa"

Derlan berdecih "Bagian mana yang Derlan nggak tau? Papa yang jarang pulang kerumah dan memilih tidur di kantor dengan di temani sekertaris perempuan papa. Coba sebut bagian mana yang Derlan nggak tau pa,"

Devan menaikan tangan kanannya.

"Dan bodohnya mama masih pertahanin pernikahan kalian"

Dan plak

Wajah Derlan terlempar ke samping kiri.
Derlan kembali menatap Devan dengan tatapan angkuh "Silahkan kalian bercerai, Derlan tidak akan menghalangi. Tapi papa harus siap jadi gelandangan di jalanan"

Setelah mengatakan itu Derlan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ini yang membuat Derlan tidak betah berada di rumahnya. Setiap hari Dona dan Devan bertengkar.
Perusahaan yang di kelola oleh Devan yang faktanya ialah milik istrinya. Jika di ceritakan riwayatnya, Devan bukanlah siapa-siapa, melainkan rakyat jelatah yang berhasil memikat hati Dona yang anak dari konglomerat.

Derlan berjalan menuju balkon kamarnya dan duduk di kursi yang disediakan papanya sambil mengambil sebatang rokok dan di selipkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, memetik korek api yang di arahkan di ujung rokoknya. Menghembuskan asapnya di udara.

Selalu seperti ini jika ia sedang banyak pikiran. Entah kerasukan setan apa, ia mengambil ponsel di saku celananya dan mencari kontak seseorang untuk di hubungi.

Terdengar suara lembut di sebrang sana "Hallo"

Mendengar suaranya saja bisa membuat Derlan jatuh hati. Sebut saja Derlan lebay, tapi itu kenyataannya.

"Hallo, kok diem sih"

Derlan tetap diam menikmati suara lembut gadis yang berhasil memikat hatinya.

"Hei, kenapa nelpon? Gue matiin aja nih"

Hanya mendengar suaranya mampu membuat Derlan meredam emosinya. Jika biasanya ia melampiaskan emosinya pada samsak, kali ini tidak.

Derlan tersenyum tipis meskipun tau Difa tidak dapat melihatnya. Derlan mematikan sambungan teleponnya. Ia membersihkan diri, dan memakai pakaian simple. Kaos putih polos, jeans hitam dan jaket. Perfect.
Ia mengambil kunci motornya dan berjalan menuruni tangga. Mengabaikan pertanyaan Devan.

Ia melajukan motornya ke perumahan elit. Beberapa hari yang lalu, ia menghapalkan jalan ini. Setelah sampai di depan rumah. Ia membuka helm full facenya mengacak-ngacak rambutnya dan mengambil ponselnya menghubungi seseorang.

"Hallo"

"Lo sibuk?"

Pertanyaan klasik.

"Nggak, kenapa?

"Bukain pintu. Gue di depan"

"Loh? Ng-ngapain?"

Derlan menjawab asal "Ngelamar"

Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang